Mentari masih
malu-malu mengintip di balik cakrawala, kokokan ayam bersahutan dari semua
kandang di rumah penduduk tak sabar minta dilepaskan di pagi buta,
burung-burung mulai beterbangan berkelompok membentuk sebuah sayap besar di
angkasa, aku menyapa setiap orang dengan berseri di pagi ini.
Ya, pagi hari
yang indah, menyegarkan, di pagi hari satu semangat baru bergumpal di jiwa para
pejuang, menyiapkan amunisi untuk berperang hari ini, mereka seolah tak sabar
menaklukkan tantangan.
Sementara itu,
“srek srek srek” suara sapu lidi tak kalah bersahutan di pekarangan rumah
penduduk. Kali ini mari kita bertandang pada sebuah sapu yang tengah
dipergunakan seorang gadis usia belasan tahun. Tangannya memegang sapu lidi
dengan cekatan, berusaha secepat mungkin menyelesaikan tugasnya membersihkan
halaman, setelah semua daun yang berguguran berkumpul barulah ia mengangkatnya
dengan serokan sampah lalu membakarnya. Ah, aku tak mengerti dengan pekerjaan
ini, bukankah esok atau lima menit kemudian daun-daun rambutan itu akan
berguguran juga? Jadi sama saja bukan disapu atau tak disapu? Benar saja, saat
asap pembakaran mulai membumbung tinggi tak sampai dua menit sehelai daun jatuh
di pekarangan yang sudah disapu bersih. Gadis itu tak menghiraukannya, dengan
mata kuyunya dia tetap melangkah pasti menuju dalam rumah masih banyak
pekerjaan yang menunggunya. Namanya Nina, sulung berusia 15 tahun yang menjadi
tulang punggung keluarga, dari sore sampai menjelang subuh bekerja sebagai
buruh di pabrik tekstil yang membeli sebagian
sawah-sawah pertanian milik penduduk sebagai lahan usaha.
Jadilah Nina
satu dari ratusan pelamar di pabrik tersebut, beruntung dia lolos penyeleksian.
Sementara ratusan kilometer dari sana sekelompok perempuan yang megenalkan diri
dengan faham feminisme bersorak-sorak mengelukan suara mereka agar disahkannya
UU KKG. Lihat apa yang mereka maksudkan dengan adil dan setara, kukira mereka
berbeda dengan Nina yang hanya lulusan SD, kukira mereka bersekolah hingga
mencapai banyak tingkatan S, kukira kepala mereka telah penuh dengan memori
berbagai macam ilmu, tapi mereka tetap tak mengerti ungkapan “adil dan setara”
aku jadi curiga, jangan-jangan mereka hanya boneka kayu yang dimainkan dalang
di balik layar, atau mungkin mereka hanya merujuk satu ilmu saja dalam
mengusung RUU ini, atau mungkin mereka telah banyak terpengaruh bisikan-bisikan
Barat yang justru tak relevan dengan kondisi
Negara dan religi di negri ini. Ah, tak baik berasumsi yang tidak-tidak.
Mungkin aku terlalu mengada-ada.
Sebagai negara
yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam mari kita lihat kedudukan wanita
di mata Islam. Saat ditanya seorang sahabat siapa yang paling berhak kita
hormati rasulullah menjawab “Ibumu” hingga tiga kali. Bagaimana tidak
istimewanya seorang ibu? Ia bahkan menempati tiga posisi sekaligus. Salah
soerang ummahatul mu’minin, siti Aisyah yang karena kecerdasannya menjadi
rujukan dalam banyak hadits. Jika tidak merujuk pada para shohabiyah, niscaya
akan banyak ilmu yang hilang dalam Islam. Tapi Islam tetap mengakui keshahihan
hadits yang disanadkan pada para perempuan, tidakkah ini berarti wanita juga
memiliki posisi yang sama dalam bidang keilmuan? Laki-laki dan perempuan memang
berbeda dalam fitrahnya, toh pada dasarnya mereka memang berbeda. Seorang suami
memiliki kewajiban bekerja di luar rumah untuk menafkahi keluarganya, sedang seorang
istri tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, karena seyogyanya rizki seorang
istri dititipkan pada suaminya, bukankah hal ini justru memberikan keleluasaan
pada kaum perempuan.
Kewajiban inti perempuan adalah mengurus
anak-anaknya. Jangan kira mendidik anak adalah perkara mudah, jangan kira
pekerjaan ibu hanya melahirkan anak dan memberi makan saja. Seorang ibu juga
harus memiliki ilmu untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dalam kitab
tarbiyah dikatakan “al umm madrosatul ula fil bait” ibu adalah sekolah pertama
di rumah. Setelah perjuangan antara hidup dan mati melahirkan anak, tugas ibu
kian hari kian bertambah, saat masih anaknya bayi ia harus rela bergadang
sepanjang malam, saat anaknya bertambah umur ibu jualah yang paling dominan
membekalinya dengan pendidikan, baik itu secara langsung ataupun tak langsung.
Jadi inti pokoknya seorang wanita juga harus membekali dirinya dengan
pengetahuan. Berkenaan dengan hal tersebut Rasulullah telah mengatakan:
طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”
Begitu pula
yang terjadi saat seorang sahabiyah bertanya pada rasulullah mengapa lelaki
boleh ikut berperang (sehingga mereka bisa mendapatkan banyak pahala) sedang
kaum perempuan tidak? Rasulullah hanya menjawab bahwa tinggalnya seorang wanita
di rumah yang menjalankan tugasnya dengan baik dan amanah terhadap suaminya
adalah sebuah ibadah.
Lalu apa yang
mereka maksudkan dengan pengusungan UU ini? Keirian mereka pada wanita-wanita
barat mungkin telah membutakan mata mereka dan menulikan telinga mereka
sehingga mereka tak mampu menggunakan akal sehat mereka. Sudah bosan ku
bisikkan jika wanita-wanita itu justru lebih cepat mengalami stress karena beban
pekerjaan di luar dan tugas di dalam rumah.
Merujuk pada
hadits di atas jelas perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan. Tetapi jika berlanjut pada tuntutan-tuntutan yang tidak rasional,
seperti yang sekarang ini tengah marak diperbincangkan, itulah yang dinamakan
dengan berlebihan. Dengan disahkannya UU ini maka para perempuan berhak menikah
dengan non muslim tanpa izin walinya, mereka juga merasa diperlakukan dengan
tidak adil dalam masalah ilmu waris dan batasan aurat, padahal hukum Allah
jelas melindungi hak-hak perempuan. Contohnya dalam ilmu waris lelaki
mendapatkan setengah bagian karena dalam bagiannya itu ada hak istri dan
anak-anaknya, sedangkan perempuan menndapatkan setengah dari bagian laki-laki
karena semuanya penuh atas miliknya tanpa ada hak suaminya.
Orang-orang itu salah berkaca, mereka bercermin pada kaca
yang salah, pada Negara yang yang jauh dari syariat Islam. Mereka alpa melihat
sekeliling, sibuk memperkaya, mempercantik, meluaskan kekuasaan, menuntut hak-hak
di luar rasio untuk diri mereka sendiri. Padahal di pelosok negri kaya ini
jutaan perempuan masih awam terhadap hak memperoleh pendidikan, jutaan Nina
hidup di negri ini dalam keummiannya, tak tersentuh oleh hiruk pikuk
kerusuhan yang terjadi.
Nina bercermin
pada kaca lemari rumah, memandang bayangan dirinya dalam cermin itu, lantas
tersenyum gembira, minggu lalu seorang bujang lapuk melamarnya, tak ada alasan
baginya untuk menolak lamaran itu. Esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun
depan dia akan menjadi istri orang yang berarti ia tak perlu lagi menjadi buruh
pabrik.
Sementara ratusan kilometer dari situ, jarum
jam menunjukkan pukul 10.30 malam, seorang wanita masih sibuk di kantornya
dengan tumpukkan kertas setinggi gunung, abai terhadap telepon genggamnya yang
menggeliat resah dari tadi, deadline tugas sudah menunggunya malam ini juga
harus rampung. Sementara sang suami jua tak berbeda jauh, tak ada yang
menunggunya di rumah membuatnya malas pulang ke rumah sehingga memilih kantor
sebagai rumah keduanya. Di tempat lain, si sulung mengendarai motor gedenya
dengan cepat seolah ingin berpacu denganku sementara di pinggir kiri kanan
sekelompok anak muda menyorakinya. Di rumah mewah itu, si bungsu yang baru
berumur satu tahun tengah rewel dalam gendongan baby sitter, badannya panas.
Berkali-kali baby sitter itu mencoba menghubungi majikannya tapi tak ada
jawaban.