Minggu, 26 Januari 2014

Nina dan RUU KKG

Mentari masih malu-malu mengintip di balik cakrawala, kokokan ayam bersahutan dari semua kandang di rumah penduduk tak sabar minta dilepaskan di pagi buta, burung-burung mulai beterbangan berkelompok membentuk sebuah sayap besar di angkasa, aku menyapa setiap orang dengan berseri di pagi ini.

Ya, pagi hari yang indah, menyegarkan, di pagi hari satu semangat baru bergumpal di jiwa para pejuang, menyiapkan amunisi untuk berperang hari ini, mereka seolah tak sabar menaklukkan tantangan.

Sementara itu, “srek srek srek” suara sapu lidi tak kalah bersahutan di pekarangan rumah penduduk. Kali ini mari kita bertandang pada sebuah sapu yang tengah dipergunakan seorang gadis usia belasan tahun. Tangannya memegang sapu lidi dengan cekatan, berusaha secepat mungkin menyelesaikan tugasnya membersihkan halaman, setelah semua daun yang berguguran berkumpul barulah ia mengangkatnya dengan serokan sampah lalu membakarnya. Ah, aku tak mengerti dengan pekerjaan ini, bukankah esok atau lima menit kemudian daun-daun rambutan itu akan berguguran juga? Jadi sama saja bukan disapu atau tak disapu? Benar saja, saat asap pembakaran mulai membumbung tinggi tak sampai dua menit sehelai daun jatuh di pekarangan yang sudah disapu bersih. Gadis itu tak menghiraukannya, dengan mata kuyunya dia tetap melangkah pasti menuju dalam rumah masih banyak pekerjaan yang menunggunya. Namanya Nina, sulung berusia 15 tahun yang menjadi tulang punggung keluarga, dari sore sampai menjelang subuh bekerja sebagai buruh  di pabrik tekstil yang membeli sebagian sawah-sawah pertanian milik penduduk sebagai lahan usaha.

Jadilah Nina satu dari ratusan pelamar di pabrik tersebut, beruntung dia lolos penyeleksian. Sementara ratusan kilometer dari sana sekelompok perempuan yang megenalkan diri dengan faham feminisme bersorak-sorak mengelukan suara mereka agar disahkannya UU KKG. Lihat apa yang mereka maksudkan dengan adil dan setara, kukira mereka berbeda dengan Nina yang hanya lulusan SD, kukira mereka bersekolah hingga mencapai banyak tingkatan S, kukira kepala mereka telah penuh dengan memori berbagai macam ilmu, tapi mereka tetap tak mengerti ungkapan “adil dan setara” aku jadi curiga, jangan-jangan mereka hanya boneka kayu yang dimainkan dalang di balik layar, atau mungkin mereka hanya merujuk satu ilmu saja dalam mengusung RUU ini, atau mungkin mereka telah banyak terpengaruh bisikan-bisikan Barat yang justru tak relevan dengan kondisi  Negara dan religi di negri ini. Ah, tak baik berasumsi yang tidak-tidak. Mungkin aku terlalu mengada-ada.

Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam mari kita lihat kedudukan wanita di mata Islam. Saat ditanya seorang sahabat siapa yang paling berhak kita hormati rasulullah menjawab “Ibumu” hingga tiga kali. Bagaimana tidak istimewanya seorang ibu? Ia bahkan menempati tiga posisi sekaligus. Salah soerang ummahatul mu’minin, siti Aisyah yang karena kecerdasannya menjadi rujukan dalam banyak hadits. Jika tidak merujuk pada para shohabiyah, niscaya akan banyak ilmu yang hilang dalam Islam. Tapi Islam tetap mengakui keshahihan hadits yang disanadkan pada para perempuan, tidakkah ini berarti wanita juga memiliki posisi yang sama dalam bidang keilmuan? Laki-laki dan perempuan memang berbeda dalam fitrahnya, toh pada dasarnya mereka memang berbeda. Seorang suami memiliki kewajiban bekerja di luar rumah untuk menafkahi keluarganya, sedang seorang istri tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, karena seyogyanya rizki seorang istri dititipkan pada suaminya, bukankah hal ini justru memberikan keleluasaan pada kaum perempuan.

  Kewajiban inti perempuan adalah mengurus anak-anaknya. Jangan kira mendidik anak adalah perkara mudah, jangan kira pekerjaan ibu hanya melahirkan anak dan memberi makan saja. Seorang ibu juga harus memiliki ilmu untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dalam kitab tarbiyah dikatakan “al umm madrosatul ula fil bait” ibu adalah sekolah pertama di rumah. Setelah perjuangan antara hidup dan mati melahirkan anak, tugas ibu kian hari kian bertambah, saat masih anaknya bayi ia harus rela bergadang sepanjang malam, saat anaknya bertambah umur ibu jualah yang paling dominan membekalinya dengan pendidikan, baik itu secara langsung ataupun tak langsung. Jadi inti pokoknya seorang wanita juga harus membekali dirinya dengan pengetahuan. Berkenaan dengan hal tersebut Rasulullah telah mengatakan:

طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”

Begitu pula yang terjadi saat seorang sahabiyah bertanya pada rasulullah mengapa lelaki boleh ikut berperang (sehingga mereka bisa mendapatkan banyak pahala) sedang kaum perempuan tidak? Rasulullah hanya menjawab bahwa tinggalnya seorang wanita di rumah yang menjalankan tugasnya dengan baik dan amanah terhadap suaminya adalah sebuah ibadah.

Lalu apa yang mereka maksudkan dengan pengusungan UU ini? Keirian mereka pada wanita-wanita barat mungkin telah membutakan mata mereka dan menulikan telinga mereka sehingga mereka tak mampu menggunakan akal sehat mereka. Sudah bosan ku bisikkan jika wanita-wanita itu justru lebih cepat mengalami stress karena beban pekerjaan di luar dan tugas di dalam rumah.

Merujuk pada hadits di atas jelas perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Tetapi jika berlanjut pada tuntutan-tuntutan yang tidak rasional, seperti yang sekarang ini tengah marak diperbincangkan, itulah yang dinamakan dengan berlebihan. Dengan disahkannya UU ini maka para perempuan berhak menikah dengan non muslim tanpa izin walinya, mereka juga merasa diperlakukan dengan tidak adil dalam masalah ilmu waris dan batasan aurat, padahal hukum Allah jelas melindungi hak-hak perempuan. Contohnya dalam ilmu waris lelaki mendapatkan setengah bagian karena dalam bagiannya itu ada hak istri dan anak-anaknya, sedangkan perempuan menndapatkan setengah dari bagian laki-laki karena semuanya penuh atas miliknya tanpa ada hak suaminya.

Orang-orang  itu salah berkaca, mereka bercermin pada kaca yang salah, pada Negara yang yang jauh dari syariat Islam. Mereka alpa melihat sekeliling, sibuk memperkaya, mempercantik, meluaskan kekuasaan, menuntut hak-hak di luar rasio untuk diri mereka sendiri. Padahal di pelosok negri kaya ini jutaan perempuan masih awam terhadap hak memperoleh pendidikan, jutaan Nina hidup di negri ini dalam keummiannya, tak tersentuh oleh hiruk pikuk kerusuhan yang terjadi.

Nina bercermin pada kaca lemari rumah, memandang bayangan dirinya dalam cermin itu, lantas tersenyum gembira, minggu lalu seorang bujang lapuk melamarnya, tak ada alasan baginya untuk menolak lamaran itu. Esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan dia akan menjadi istri orang yang berarti ia tak perlu lagi menjadi buruh pabrik.


 Sementara ratusan kilometer dari situ, jarum jam menunjukkan pukul 10.30 malam, seorang wanita masih sibuk di kantornya dengan tumpukkan kertas setinggi gunung, abai terhadap telepon genggamnya yang menggeliat resah dari tadi, deadline tugas sudah menunggunya malam ini juga harus rampung. Sementara sang suami jua tak berbeda jauh, tak ada yang menunggunya di rumah membuatnya malas pulang ke rumah sehingga memilih kantor sebagai rumah keduanya. Di tempat lain, si sulung mengendarai motor gedenya dengan cepat seolah ingin berpacu denganku sementara di pinggir kiri kanan sekelompok anak muda menyorakinya. Di rumah mewah itu, si bungsu yang baru berumur satu tahun tengah rewel dalam gendongan baby sitter, badannya panas. Berkali-kali baby sitter itu mencoba menghubungi majikannya tapi tak ada jawaban. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar