Rabu, 26 Desember 2012

‘An Risalah #1 (Terima kasih)



Hidup ini memang berada di ranah ketidak pastian, seperti ketidakpastian is bisa lulus semester ini atau enggak… haha. Gak ada yang bisa jamin meski skripsi is udah kelar sekalipun. Hehe.. sepagi ini berusaha menguatkan diri sendiri,  menghibur diri sendiri, Allah pasti punya rencana lebih indah. Pasti! Pasti!

Kalau kita mungkin kecewa pada orangtua, saudara, atau sahabat baik sekalipun, hanya Allah yang tidak akan mengecewakan kita. Maka serahkan seluruh kepercayaan kita pada-Nya. Allah Maha Tahu. Jika seseorang  mungkin mengingkari janjinya, hanya Allah yang tidak akan pernah menyalahi kata-Nya.

Bismillah…

Sesungguhnya gak ada yang is sesali dari skripsi is, baik itu judul atau pembimbing. Meski harus berhutang satu semester bahkan terancam berhutang lagi, meski judul is bukan di bidang yang is mau, meski 2 pembimbing is terkadang bertolak belakang dan susah ditemui, meski untuk acc judul is butuh 1 semester. Nyatanya semua ini amat plusplusplus, plus ilmunya plus belajarnya plus waktunya plus perasaannya. Hihihi ternyata kebanyakan plus gak baik juga.

Sebelum dimuat di skripsi betulan (daripada lama nunggu jadi) is ucapin terima kasih buat:

1.       Allahu  Qoyyum, yang mengatur segala urusan. Dari judul skripsi is, pembimbing luar biasa, ngasih rezeki buat ngeprint, sampe menakdirkan is ngantri bimbingan. Syukur is gak terhingga Allah untuk membahas salah satu nama-Mu dalam skripsi is. Qoyyum. J
2.       Ummi tercinta yang saat ini tengah bersama-Nya. Is tahu Mama selalu ada. Makasih ma udah maksa beliin is laptop. J
3.       Bapak, yang paling sering ngingetin jangan sering-sering makan mie. Dan terakhir ngingetin musti lulus semester ini. “Kejar terus pembimbingnya, pergi ke kantornya juga gak papa”, J udah pak. Maaf kalau nyatanya is belum bisa lulus juga.
4.       Adikku-choi, Choerunnisa J
5.       Ustadz Shaf, pembimbing 2 is. Jazakallah ustadz untuk berbagi ilmunya, pengarahannya, diskusi-diskusinya (pertanyaannya ust jawab sendiri sih, is Cuma “iya” “hmmmpt” :D), pinjaman bukunya yang hampir 1 semester “__” (ngeri banget is waktu mau balikinnya, padahal Cuma disuruh fotokopi). Momen seru bimbingan sama ust kalau ust lagi meninggi suaranya (faktor bawaan) bikin kaget, ngeri, degdegan, padahal ustnya biasa aja. Haha… dan kalau ngantri bimbingan, entah kenapa is selalu dapet antrian terakhir L. Is masih mau belajar banyak dari ustadz, apalagi udah punya beberapa karya J. Alhamdulillah pembimbing is luar biasa.
6.       Ustadzah Yumna-pembimbing 1 is, sibuker sejati. Gak kenal umur, berkarya teruuuus. Jazakillah ibu, sangat menginspirasi. Hafalan wazan shorfnya … widih… ngeri (is yang baru kemaren belajar aja udah lupa). Makasih ibu udah bales sms is, meski kebanyakan balesannya gak bisa karena ibu udah ada agenda :D, bahkan di hari libur. Mudah-mudahan Allah mudahkan segala urusan ibu, biar is bimbingan en cepet  lulus (*modus). Makasih ibu sempetin kirim salam buat is kalau is gak muncul-muncul (hahaha ternyata waktu kita banyak gak akurnya). Untuk masukan yang keren buat skripsi is. Meski kadang is pikir ibu kok bisa punya waktu buat yang lain, tapi pas bagian is mau bimbingan gak bisa terus L. Semoga Allah lancarkan segala agendanya. J
7.       Uwak, ebe, mamang, teteh, yang juga gak bosen-bosen nanyain tempo wisuda is J
8.       Teman-teman dalam langkah perjuangan. JBSA ’08-nonreg-reg (Dini yg gak bosen hibur is meski kita udah pisah, ana-ani yg  nyecer is biar nyecer bu Yumna, Dita, temen kosan yang is gandeng buat skripsi imel-eva, temen satu pembimbing, imel lagi-anaani lagi-obi-fitri-asih-nuri-fifi-nuri), temen ngaji (kak put yg selalu kasih semangat, kak Muto-maaf banget waktu tahsin terpaksa dialokasikan ke waktu ngantri bimbingan L), teman-teman di kel besar Nuraniku yang ternyata banyak juga yang  seperjuangan sama is, semangat, gerak,  dan keikhlasananya selalu  bikin is iri. Terimakasih untuk ukhuwahnya yang penuh warna J
9.       Adik-adik angkatan dimanapun (termasuk di kosan oncom) yang rajin banget nanyain “udah lulus belum k?” “udah sampe mana skripsinya k?”. Makasih selalu ngingetin J

Jangan pikirkan hasilnya, karena untuk sedetik kedepanpun kau tak kan tahu nasibmu
Kerjakan saja, sebisamu, semampumu
Serahkan segala cemasmu pada-Nya, pada Ia yang Maha Kuasa
Jikalau usaha telah sampai di titik nadir
Allah pasti melihatnya, bahkan daun yang jatuh tak lepas dari pengaturan-Nya
Jikalau amal ini karena-nya, yakinlah tidak ada yang sia-sia di mata-Nya
Kalau bukan karena-Nya, untuk duduk dan berdiri saja kau tak akan sanggup
Percaya! Kuatkan Allah… hati-hati yang rapuh ini

Minggu, 23 Desember 2012

I'm not stupid (2)


Berikanlah lebih banyak pujian
Lihatlah sisi baik seseorang
Apakah itu sulit?
Semua orang butuh pujian
Tapi kenapa kita sering ragu
Untuk sekedar member pujian
Dalam diri setiap anak ada sisi gelap dan sisi terang
Carilah sisi terang itu
Dan semua yang baik akan muncul
Barang berguna dipakai dengan salah akan jadi tidak berguna
Barang tidak berguna dipakai dengan benar akan jadi berguna
  Pengakuan terhadap seseorang adalah sumber kekuatan
Kita tidak pernah tahu apa yang bisa kita ubah

I'm not stupid


Semua orang punya impian
Dari impian datang harapan
Semua orang perlu impian
Dengan impian ada kekuatan
Impian menyinari hatimu bagai mentari
Menerangi seluruh duniamu
Impian membimbingmu ke jalan yang benar
Memberimu keberanian untuk melangkah maju

I'm not stupid too

Sabtu, 22 Desember 2012

22 Desember

Kasih Ibu kepada beta
tak terhingga sepanjang masa
hanya memberi tak harap kembali
bagai sang surya menyinari dunia

send to: Mamy qu
22 Desember 2009

Menyenandungkan lagu yang sama di antara dinding-dinding sempit TK bersama koor tak senada  dari mulut-mulut mungil yang hadir
21 Desember 2012

Terima kasih Allah telah hadirkan madrasah terbaik dalam hidupku
Terima kasih Allah telah titipkan ia ensiklopedi terlengkap dalam catatanku
Terima kasih Allah telah jadikan aku terlahir dari rahimnya
Terima kasih Allah telah memberikan hari-hari kebersamaanku dengannya
Terima kasih Allah karena aku anaknya dan dia ibuku
Terima kasih Allah untuk perempuan terhebat dalam hidupku, ibuku

Sungguh karena-Mu aku mencintainya

Jumat, 21 Desember 2012

Malaikat kecil yang pergi

Bismillah
Dedek Hamid


Dedek sayang, bisa ingatkah? Dulu membuat kalang kabut seisi kosan oncom tengah malam buta. Ditinggal tidur abang, sementara ummi-abi tengah menghirup suasana malam. Ditinggal bersama tante dan teman-temannya yang belum ada bakat keibuan. Menangis sekencang itu sampai-sampai semua orang berusaha menjadi makhluk paling lucu dan menggemaskan di matamu. Namun sia-sia. Tangismu baru reda ketika ummimu muncul di ambang pintu. Kau jadi tamu istimewa malam itu, tentu kami akan selalu mengenalimu.

Teteh rasanya dalam mimpi saat tantemu bilang kau mengidap kanker darah-leukimia. Penyakit yang selama ini rasanya hanya ada di sinetron. Kau terlalu kecil untuk penyakit separah itu.

Rabu sore. Kau tertidur pulas saat aku mengunjungimu di ranjang Rumah sakit yang terpaksa dibagi dua. Abimu bilang kau baik-baik saja, sempat bermain, makan dengan lahap. Umimu masih menangis meski ini sudah memasuki hari keenam kau dirawat. Kau tak sempat melihatku.

Pukul 02.59 tantemu menangis kencang di kamar sebelah, membangunkanku. Kabarnya, kau telah pulang ke sisi-Nya. Subuh itu, masih bingung harus bagaimana, aku dan tantemu mengayunkan kaki secepatnya menaiki kendaraan yang sudah beroperasi di pagi buta.

Entah karena apa perjalanan ini terasa amat lama. Bintang subuh masih bertengger nyaman di langit biru meski matahari tengah bersiap di ufuk timur. Mungkinkah itu kau?

Kau terbaring tenang di sebilah kasur, nyaman menghadap Allah. Katanya tangisan di sekitarmu hanya akan memberatkanku. Maka diantara sedu sedan tangis yang bahkan teredam dalam hati mereka mengantarmu.

Waktu terasa amat cepat, amat memilukan tanpamu. Tapi seperti kata bang Tere, dalam kepergian jangan hanya melihat dari sisi yang ditinggalkan tapi juga dari sisi yang pergi.  Allah Maha Tahu, amat menyayangimu,  memintamu cepat pulang agar tak sempat merasakan sakit.


Maaf bahkan aku tak bisa menghibur orang-orang tersayangmu disini. Aku tak punya cukup ucap yang menguatkan. Kuharap sekedar catatan ini terhitung menguatkan.

Boleh minta tolong kan sayang?
Titip salam buat ummi teteh ya Dek...

Rabu, 19 Desember 2012


Sabtu, 08 Desember 2012

CUKUP MATA-NYA MELIHAT



“Cukup! Bacaan kamu banyak salahnya, jangan asal keras dong kalau membaca. Memangnya kamu tidak pernah belajar? Baca segitu aja gak bisa. Apalagi terjemahan kamu. Berantakan”. Hardikan  itu bak halilintar menyambar di siang bolong, mendarat sempurna di telingaku. Atmosfer kelas tetap panas meski pendingin udara dinyalakan, mungkin efek dari mulut pedasnya Pak dosen yang satu ini. Baru saja aku membaca (kitab gundul) dengan semangat hasil belajarku bermalam-malam kemarin, berharap Bapak dosen ini akan mengapresiasi hasil belajarku. Nyatanya tak sampai satu menit aku unjuk gigi dia sudah mengomentariku sepedas itu. Rasanya makhluk satu ini tak punya hati, tak bisakah ia sedikit menghargai hasil kerja keras seseorang? Jangan ditanya lagi warna wajahku, mungkin merah-keunguan, menahan malu dipermalukan teman-teman sekelas.
Nah, yang  ini baru harus dicontoh”. Beruntung, Rima teman sekamarku  mendapat pujian dari dosen killer ini. Hah… ini tak adil. Jelas-jelas bermalam-malam kemarin aku tahan kantukku untuk belajar sungguh-sungguh, tak dianya justru Rima-lah yang kulihat tidak belajar yang mendapat pujian setinggi langit. Yang dipuji jelas mesem-mesem jumawa, setelah itu selalu nama Rima lagi yang disebut-sebut. Sedangkan yang lain hanya mampu memandang iri dan menahan dongkol dalam hati, apalagi aku dengan rekor diberhentikan tercepat.
“Kamu yang baca paling keras. Tidak malu apa kamu dengan teman kamu Rima…..” Grrrr…. Nasehat atau justru olok-olokan itu dialamatkannya padaku. Sungguh rasanya aku ingin pura-pura pingsan saja.
Hari ini hari paling buruk dalam sejarah hidupku. Setelah di kelas habis dikuliti dosen killer, belum habis kejengkelanku. Aku kembali dikejutkan dengan selembar kertas yang kutemukan di tong sampah. Sepertinya aku kenal guratan pena ini. Ha…. Bukankah ini hasil karikaturku semalam?
Malam tadi usai belajar aku menghubungi kak Edi. Dia adalah kepala departemen informasi di BEMJ (Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan), dan aku salah seorang stafnya. Sudah berbulan-bulan isi mading tidak diganti, jadi meminta izinya untuk mengisinya dengan materi baru. Kebetulan momentnya pas dengan tahuk baru Hijriah, jadi aku membuat karikatur tentang tahun baru hijriah. Semalam suntuk aku mengerjakannya, meski gambarku tak terlalu bagus aku yakin orang-orang yang membaca pasti akan mengerti isi dari karikaturku. Pagi tadi langsung kutempel sebelum masuk ke kelas. Tak tahunya, mahakaryaku berakhir mengenaskan di tempat sampah, teronggok tak berbeda dengan kertas pembungkus gorengan. Rasanya darahku mengalir cepat ke ubun-ubun, seperti jutaan volt listrik tengah menyetrum, kemarahanku tak tertahan lagi. Ingin rasanya kumaki siapapun yang pertama kali kutemui. Sekonyong-konyong datanglah temanku, dengan tanpa merasa bersalah berceletuk “Gambar siapa sih itu? Gak jelas gitu”. Kemarahanku yang tadinya memuncak sepertinya telah meletus mengeluarkan lavanya. Namun tak satupun serapah yang keluar. Aku terlalu syok dengan komentar temanku sendiri, yang kuharapkan dapat membesarkan hatiku justru menjatuhkanku sedemikian mengerikan. Ada yang sakit di hati ini, rasanya dadaku amat sesak. Ingin aku menangis, namun air mata itu tak kunjung keluar. Aku hanya mampu terkulai lemah dengan memegang hasil mahakaryaku.
Usut punya usut hujan deras tadi siang menyiram basah mading yang telah kuganti isinya. Akibatnya kertas yang ditempel menjadi lepek, dan inisiatif tangan-tangan rajin nan cekatanlah membuang kertas-kertas yang tertempel basah ke tempat sampah. Sudah tak layak baca mungkin pikir mereka. Namun, hati kecilku terus meraung. Tak tahukah mereka sebegitu bekerja kerasnya aku menyelesaikan karya itu. Ah… sudahlah aku hanya mampu menghibur diriku sendiri. Terlalu malu mengakui hasil kerjaku yang terlanjur dianggap tidak jelas sebelum aku sempat memproklamirkannya.
Hujan kembali mengguyur saat aku hendak mengayunkan kaki ke kosan. Aku lupa, tadi pagi payungku dipinjam anak Ibu kos yang kebetulan payungnya sedang rusak. Menerabas hujan sederas ini nampaknya bukan ide brilian. Nampaknya aku akan tinggal lebih lama di kampus sembari menunggu hujan agak reda. Oh.. nampaknya ada yang terlupa. Kubuka pesan masuk di hp-ku “Besok rapat di sekret jam 3, jangan telat”. Kugilir melihat jam di layar “03.30” pm. Aku sudah terlambat, aku tidak punya pilihan selain harus menerabas hujan menuju sekretariat yang berjarak ±1 KM dari pintu gerbang. Malangnya lift sedang diperbaiki, jadilah aku harus mendaki berpuluh anak tangga menuju lantai 5.
“Assalamu’alaikum”. Kuucapkan salam dan kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tak terlihat aktifitas rapat sedang berlangsung. Aku hampir kuyup ketika sampai di secret. “Eh Fika, ngapain? Habis darimana kehujanan begitu?” kebetulan sekali aku bertemu dengan Dian, teman sejawatku di departemen informasi. “Loh bukannya hari ini ada rapat?” aku balik bertanya. “Rapatnya kan kemarin sore, kenapa baru datang sekarang? Ketinggalan kereta ya Neng… hahaha…”. Tanpa merasa perlu memprihatinkanku dia justru tertawa berderai-derai diikiti koor penghuni sekret. Glek. Cukup sudah kemalanganku hari ini.
Sebelum pulang kusempatkan masih dengan baju basah kuyup membeli cake kecil untuk teman sekamarku. Hari ini dia ulang tahun, uang jajanku tak cukup untuk membelikan kado jadi kubelikan saja cake kecil yang dijual di toko roti seberang kampus. Aku harap dia akan senang dengan hadiah kecilku. Ternyata sisa uang jajanku hari ini sangat pas-pasan, aku bahkan tak bisa membeli jatah nasi untuk makan malam hanya cukup membeli mie instant. Tak apalah pikirku, aku sudah membayangkan wajah Dinda-teman sekamarku, dengan matanya yang berbinar-binar akan sangat senang bahkan terharu dengan hadiah kecilku. Aku masih sempat mengulum senyum membayangkannya.
Perkiraanku melesat 360°. Sesampainya di kosan, Dinda sudah berbinar-binar riang sebelum keberikan hadiah kecilku untuknya. Lantas tanpa dikomandoi, dia bercerita amat atraktif bahwa teman-teman sekelasnya memberinya kejutan. Kue tart besar, baru saja mereka bertolak sepuluh menit yang lalu. Dia bilang bahwa teman-temannya adalah yang terbaik sedunia. Aku meresponnya dengan wajah gembira yang amat dibuat-buat. Kusembunyikan kue yang telah kubelikan di dalam tas. Dengan teman-teman yang baginya seistimewa itu apalah artinya aku dengan cake kecilku? Lupakah ia, kemarin-kemarin saat kiriman orangtuanya belum sampai akulah yang ditumpanginya makan? Saat uangnya hilang sementara dia harus membayar traktir teman-temannya aku pulalah yang meminjaminya uang, meski seminggu ke depan keuanganku juga akan seret. Aku tak pernah mengungkit-ungkitnya. Ah… mengapa bisa kukatakan tak mengungkitnya sedang aku selalu mengingat kebaikanku dan melupakan kesalahanku?
Kunyalakan kran air sekeras mungkin saat hendak mandi. Aku ingin menangis, rasanya hari ini amat berat. Aku amat kecewa, aku dikecewakan, aku dikerdilkan, aku tak ubahnya hasil karikaturku yang dibuang di tempat sampah. Apa salahku Ya Allah? Aku terus bertanya dalam hati, mereka-reka dosa yang telah kuperbuat.
Sekelebat namun amat jelas Allah pertontonkan dosaku. Niatku yang melenceng. Aku terlalu sombong, merasa mampu, merasa berjasa, padahal apalah aku ini di hadapan-Nya? Saat belajar sungguh-sungguh aku hanya ingin mengesankan hati pak dosen. Berharap dia akan melihat dan memuji hasil belajarku, aku lupa bahwa yang Maha Melihat adalah Allah, aku lupa bahwa belajar jua adalah kewajiban darinya. Bukan semata-mata tuntutan dosen atau kampus.
Ketika aku membuat mading, yang kuharapkan adalah agar dilihat oleh orang-orang lantas mereka akan berdecak kagum pada hasil karyaku. Aku lupa lagi bahwa yang pertama kali melihat adalah Allah. Allah pula yang menggerakkan tanganku sehingga aku bisa menggoreskan pena di atas sehelai kertas. Aku lupa bahwa Allahlah yang kuasa meliputi ujung rambut hingga telapak kaki, tanpa izin-Nya bisa saja tanganku kelu untuk sekedar kugerakkan ke kanan dank ke kiri.
Saat aku datang untuk ikut rapat, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku adalah orang hebat, aku punya organisasi yang kujalani, aku ingin pengakuan khalayak bahwa aku seorang sibuker dengan agenda rapat bertubi-tubi. Aku ingin menunjukkan dimata teman-temanku yang tidak tergabung dalam organisasi bahwa aku lebih hebat dari mereka. Lagi-lagi aku lupa Yang Maha Hebat Maha Perkasa hanyalah Allah semata, maka saat Allah melihat kesombongan dalam diriku diterbangkannya kesombongku tanpa sisa.
Tak ada yang mampu kutunjukkan. Aku mungkin salah menilai orang-orang hebat adalah mereka yang terkenal, nyatanya pahlawan sejati adalah dia yang kebaikannya dirasakan, kebermanfaatannya dicicipi oleh lingkungan sekitar. Mereka adalah pahlawan di jalan kesunyian yang tek pernah tersorot lensa atau tersebut nama karena khawatir nilai keikhlasan kontribusi mereka hangus terkikis pujian. Allah tengah mengajarkanku makna kepahlawanan dan kehebatan baru, bahwa seorang pahlawan yang tentunya seorang hebat adalah dia yang berkontribusi tinggi-bermanfaat bagi sekitar dengan harapan hanya Allah-lah yang tahu. Biar Allah saja yang melihat amal-amal mereka. Ah… betapa ingin aku menjadi orang seperti itu, tak pernah tersebut manusia namun namanya mewangi oleh amal kebajikan.
Pun saat mengingat-ingat kebaikanku pada Dinda aku belum ikhlas. Masih saja aku mengungkit-ungkit kebaikanku padanya. Celakanya aku selalu lupa sikap jelekku padanya. Aku tak pernah tahu, mungkin dalam hati terdalamnya dia selalu memaafkan kesalahanku sebelum aku sempat minta maaf padanya. Ya Allah ampuni hamba yang terlampau buta dimabuk pujian mata-mata nista manusia. Ajari aku untuk ikhlas karena-Mu, bahwa Engkaulah yang akan pertama kali melihat amal-amalku.
Usai mandi kulihat Dinda baru selesai shalat. Samar dan lamat kudengar namaku disebutnya dalam doanya yang menghiba. Tanpa kusadar air mataku meleleh haru, Ya Allah untuk sahabat sebaik ini yang tak alpa mengabsenku dalam do’anya masihkah aku pantas tidak bersyukur atau menganggapnya kurang baik?
“Tok..tok..tok” Sebuah ketukan terdengar di pintu kamar kami. Rania, anak ibu kos yang bertandang. “Terimakasih ya kak pinjaman payungnya tadi pagi, sebagai ucapan terimakasih ini dari mama” katanya sembari menyodorkan dua kotak nasi. Alhamdulillah, ada saja rezeki di tengah krisis kantong macam ini. Padahal tadi pagi aku tak berharap apapun saat meminjamkannya payung, kebetulan sekolahnya agak jauh sedang kampusku hanya sepelemparan batu dari kosan. Jadi, tak ada ruginya bagiku sekedar meminjamkannya payung yang belum tentu kupakai. Bahkan Allah membalas amal kecil ini dengan balasan amat baik. Aku bertambah mengerti antara amal yang diniatkan karena-Nya dan bukan karena-Nya. Kuncinya saat berharap amal kita dilihat oleh mata manusia yang terkadang hanya melihat secara kasat mata, maka bersiaplah untuk kecewa. Adapun ketika kita berharap hanya Allah-lah yang melihat amal kita, niscaya kita tidak akan kecewa meski orang-orang justru mengecilkan, meremehkan, atau menghina hasil kerja kita. Tak pernah ada yang sia-sia dimata-Nya, karena Allah tidak akan mengecewakan kita, Allah pulalah yang akan menilai seadil-adilnya jerih payah kita. Yang besar di hadapan manusia belum tentu besar di hadapan Allah dan sebaliknya.
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.(Q.S. At-Taubah:105)

Selasa, 23 Oktober 2012

Pohon yang Berbuah



“Lelaki itu menempuh perjalanan berbulan-bulan melewati tandusnya padang pasir nan mengganas demi tayabun keshohihan sebuah hadis.” Berulang kali aku mendengar kisah ini, merenungkannya, namun tetap belum dapat kuhayati khittah perjuangannya. Maka tak salah janji surga bagi penuntut ilmu di jalan Allah. Kisah ini terjadi ratusan tahun silam. Ulama-ulama perawi hadits, perumus hukum-hukum fiqih, para da’i yang mensyiarkan kalimat-kalimat tauhid.

Kucoba resapi perjuangan para gudang ilmu terdahulu. Yang kutemukan adalah bayangan bias diriku antara ketidakyakinan dan ketidakteguhan. Seperti benang merah yang kutemukan dalam Ahmad Fuadi dalam Negeri 5 Menaranya, Moh Amin dalam anak-anak Langitnya, Juga Andrea Hirata dalam Laskar Pelanginya. Orang-orang biasa tidak lahir dengan pola yang biasa-biasa saja. Untuk menjadi diatas rata-rata perlu usaha di atas rata-rata pula. Lagi-lagi aku tersentak tiap kali mengingat prinsip itu. Jangankan di atas rata-rata, melebihkan setengah jam waktu tidur saja Aku enggan.

Kemarin lusa usai menghadap DP (Dosen Pembimbing) setelah hampir 5 bulan tidak menghadap, Aku menampakkan diri lagi di Kantor Jurusan. Demi menyatukan 2 kepala Dosen yang kerapkali bertolak belakang, kalang-kabut dan cukup rusuh saat Aku menunjukkan materi Bab satuku. Entah apa yang terjadi (Aku hingga tak sadar sudah membuat rusuh suasana), hingga seorang dosen bertanya padaku “Emang kenapa sih Is? Ribet banget kayaknya. Emang kemaren kemana aja?”

Bismillah, kutekadkan dalam diri untuk berusaha lebih keras. Esoknya Aku pergi ke perpustakaan UIN SYAHID JKT, belum aku sempat Aku melewati pintu masuk terpampang tulisan “Tutup. Mati lampu”. Kuayunkan kaki menuju perpustakaan FDI (Fakultas Dirasat Islamiyah), mati lampu juga beruntung perpustakaan masih buka. Setelah mendapatkan dua buku bidang tafasir kusempatkan membaca Ibnu Katsir surat Al Qalam “Pena”. Dua halaman membaca mataku mulai terkantuk-kantuk. Namun tiba-tiba “Rest Time” suara Ustadz penjaga perpustakaan mengembalikan kesadaranku. Setelah pulang dengan hasil nihil, sempat tersasar pula. Meghadap Bapak-Ibu DP pun cukup sulit.

Ketika Aku mengeluhkan banyak hal tentang kesulitan menggarap skripsi ini, seharusnya Aku banyak belajar dari kesungguhan alim-alim pecinta ilmu. Barokahnya mereka boleh jadi dari keikhlasan mengejar dan belajar meski ditempa ujian berlipat ganda. Ada kekhawatiran yang yang hinggap, jikalau Aku tak meniatkannya atas-Mu. Maka Rabbi, Ya ‘Aliim jadikanlah hamba golongan orang-orang yang bermujahadah dalam menuntut ilmu di jalan-Mu. Agar kelak apa yang kupelajari tak sekedar syarat menuju gelar yang digilai pemuja dunia, namun juga bernilai ibadah sehingga berkah dan bermanfaat.

Jadilah pohon yang berbuah, memberikan kemanfaatan. Maka jadikanlah apa yang tengah kupelajari sebagai bagian dari pengamalan ilmu kelak.
العلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر   

Senin, 15 Oktober 2012

SUBUH HARI DI BULAN MEI



Januari Jerami. Itu namanya, lahir di bulan januari. Namun aku tak menemukan makna pada jerami, kupikir mungkin dia lahir tepat diatas tumpukan jerami. Asumsi yang musykil.

Kalau begitu namaku pasti Mei, lahir di bulan mei. Ibuku melahirkan di klinik Bu Bidan. Kupikir namaku akan sangat tidak enak didengar. “Mei Bidan”. Beruntung nama ini tak benar-benar dipatenkan hak milikku.
Setiap kelahiran menyimpan ceritanya masing-masing. Ceritaku, jum’at subuh pukul 3 pagi di klinik yang sekaligus merangkap rumah Bu Bidan, tak jauh dari rumah Ummi-Nenek. Aku tak tahu seberapa berat dan susahnya perjuanganmu memperjuangkan si sulung ini. Cerita-cerita yang terulang seperti rekaman kaset selalu keluar dari mulutmu.

“Kau tahu Nak, kau tidak menangis saat keluar dari rahim Ibu.” Entah mengapa Bu Aku tidak menangis, mungkin saat itu kau telah banyak bercerita tentang dunia yang akan segera kutapaki, mungkin juga aku terlalu terkejut dengan atmosfer baru yang tiba-tiba. “Sehingga tak satu katapun keluar dari lisanku. Nenekmu yang menunggu di luar ruangan hanya mampu menghela nafas panjang, tak terdengar suara tangis bayi, mungkin belum waktunya makhluk kecil ini menatap dunia.” Namun, abracadabra… makhluk kecil itu mampu bertahan tanpa tangis.

“Dulu Kau hanya sebesar botol kecap. Bu Bidan selalu mengingatmu sebagai Si botol.” Nampaknya Aku amat kecil Bu, hingga julukan itu terus melekat. Aku ingat Uak yang selalu menggodaku sewaktu kecil, “Ada anak yang lahir cuma sebesar botol….” Lelucon itu tentu Aku, Si Botol.

Tak seperti kebanyakan keluarga dengan bayi baru lahir yang gaduh dengan suara tangis. Rumah kita justru amat tenang, tak ada tangis lapar atau popok yang basah. Aku begitu amat pendiam. Tidur-tiduran sepanjang hari. Kau pikir Aku bisu, mungkin juga tuli. Malangnya, si Botol yang bisu. Kendati begitu, tak sedetikpun  Kau mengeluh. Tetap menyanyikanku Nina bobo, memberiku asi setiap 2-3 jam sekali sebelum aku rewel meminta. Aku memang tak meminta, nampaknya Aku terlalu terlena dalam tidur panjangku. Malam hari Kau tetap terjaga, berjaga-jaga khawatir Aku kelaparan dalam tidur. Sebuah keajaiban datang. Sekitar 36 jam sejak kelahiranku keluarlah satu suara dari mulutku. “Eu”. Hanya itu, selanjutnya Aku tetap asyik masyuk dalam tidurku. Mungkin karena itulah namaku dimulai dari dua vocal itu. Aku tak sempat bertanya tentang asal muasal namaku yang amat nyunda itu.

Aku amat merindukan cerita itu, Bu. Si Botol di bulan Mei yang berdekatan dengan Idul Fitri. Aku selalu ingin mendengarnya lagi dan lagi. Aku selalu ingin mendengar ceritamu, Bu. Bisakah kau ceritakan lagi padaku?

Peluk cium anakmu
Ibuku tersayang
Yang disayangi Allah
ربي اغفر والدتي وارحمها كما ربّتني صغيرا وامكنها في أحسن المكان عندك

Rabu, 10 Oktober 2012

Anak-Anak Langit


Klasik memang cerita tentang seorang anak yang ingin bersekolah di sekolah unggulan Negeri namun terdampar di MAK (Madrasah Aliyah Khusus) atau serupa pesantren. Itulah yang terjadi pada Simuh, bujang tanggung di Bagan Siapi-api yang tersasar ke kaki gunung Singgalang dan Pinggang Merapi. Cuaca yang menusuk kulit di malam hari menjadi teman yang tak dapat ditolak kehadirannya. Namun, apa yang ia temukan disana ternyata bukan sekumpulan anak buangan, melainkan kumpulan bibit-bibit unggul yang disatukan dalam satu asrama, MAK. Petualanganpun dimulai. Bersaing dengan 40 anak dalam 10 kamar tidur dan 4 kamar mandi menjadi cerita yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Bayangkan saja, belajar disana bagaikan berjalan di antara dua sisi jalan yang berkontur 45%, jika lengah dalam belajar maka peringkat pertama yang didapat di kampung dapat meluncur drastis ke peringkat 30-40.  Kendati berbentuk asrama namun sistem pengawasan dan penjagaan tak seketat yang diterapkan pesantren. Walaupun aroma persaingan amat kuat tercium, namun bujang-bujang tanggung ini tak lepas juga dari godaan-godaan masa labil. Bermula dari keluarnya sang pengurus asrama yang hanya seorang saja, yang kemudian posisi itu kosong hingga satu setengah tahun ke depan menjadikan mereka bagai anak-anak broken home versi  asrama. Kenakalan-kenakalan kecil seperti menonton tv, saling mengirim salam dan angek-angek dengan siswi MA, hingga kenakalan yang lebih fatal menjadi pelajaran serta cerita yang tak terbayarkan.
Inilah romansa tentang sekumpulan anak-anak yang tinggal di asrama. Pelajaran tak termaktub menjadi polesan lain warna kehidupan. Pelajaran tentang berbagi, kebersamaan, kemandirian, tanggung jawab pemuda, keegoisan, kerja keras, dan persaingan tentunya menjadi pelajaran yang hanya dapat dikecap dalam interaksi social bersama kawan-kawan seperjuangan. Seringkali muncul pandangan absurd dalam diri mereka sendiri ketika mereka dilabeli sebagai anak-anak langit, yang digaung-gaungkan menjadi ulama dan pemimpin masa depan namun kerapkali mengedepankan ego. Nilai yang nisbi, memotivasi sekaligus menjadi beban amat berat.  Mungkin inilah proses dalam menjadi dewasa dan pemimpin.
Terdapat tiga macam pembelajar disana, pembelajar pertama adalah mereka yang istiqomah belajar tanpa terbawa arus yang sedang terjadi, tipe kedua adalah mereka yang mudah digonjang-ganjing dalam arus kebaikan atau keburukan, tipe terakhir adalah kumpulan akan-anak yang memang cenderung mencari-cari celah untuk berbuat nakal. Selain tipe pembelajar, ada pula tipe orang-orang yang hebat dalam berbagai bidang, antara lain: pemimpin sekaligus provokator handal,  orator berpengaruh, olahragawan yang menawan, inspirator berpembawaan tenang, pendebat-pendebat ulung, ketua DKM yang hobi tidur-belajar di belakang mimbar. Bermacam-macam pula cara belajar yang dipraktekkan oleh siswa-siswa disana, mind map, sketsa pelajaran, bersembunyi di belakang mimbar, pura-pura tidur namun diam-diam belajar, di dalam kelas dengan penerangan sebatang lilin, kalkulasi dengan angka, dan banyak lagi cara belajar unik lainnya.
Dua hal yang menjadi ruh dalam kehidupan merantau disana adalah “Syubbanul yaum rijalul ghod” dan jadilah pembelajar macam ikan. Meski air laut berasa asin namun ikan tidak latah menjadi asin. Meski apapun arus yang tengah menerjang jangan sampai terbawa arus yang buruk.
Selanjutnya, silahkan baca buku ini. Lukisan tentang dinginnya hawa Singgalang, Ibu guru hebat yang lagi-lagi aku lupa namanya, kepala sekolah yang paradoks, perploncoan yang mendebarkan penuh kesan, dan edelweis di puncak gunung. 

Dwilogi Padang Bulan


Berani
Dalam sembarang waktu dan ruang
Tela disediakan untukmu
Medan untuk berperang
Beranikah engkau menghunus pedang?
Inilah kisah tentang si legenda, Marymah binti Zamzami (Maryamah Karpov). Seorang perempuan di tengah masyarakat patriarchal pendulang timah. Profesi pendulang timah yang tadinya hanya dikerjakan oleh kaum lelaki harus ia geluti sejak usia 14 tahun. Sepeninggal Ayahnya, ialah yang menjadi tulang punggung keluarga menghidupi tiga adik serta Ibundanya. Kendati tanggung jawab ini tak pantas dipikul oleh gadis yang belum tamat SD, namun ia tetap menjalaninya dengan penuh semangat. Ia pula yang menyekolahkan adik-adiknya.
Tahun demi tahun ia lewati dalam kubangan lumpur yang menyembunyikan remah-remah timah yang tersisa, namun ada satu mata pelajaran yang sangat ia cintai sejak kecil. Father, mother, son, daughter. Ya, kecintaannya terhadap Bahasa Asing ini tak lekang dimakan waktu. Jadilah saat sebuah lembaga kursus dibuka di Tanjung Pandan ia mendaftar untuk belajar disana. Awalnya kepala sekolah sempat ragu, namun siapa siangka ia menjadi salah satu luusan terbaik. Belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seorang yang bukan penakut.
Dalam masyarakat Belitong yang mayoritas bermatapencaharian sebagai pendulang timah, ada satu tempat yang tak boleh terlewatkan setiap harinya. Kedai kopi atau warung kopi menjadi tempat membuminya pada pribumi disana. Jika seseorang pergi ke warung kopi, maka ia tidak semata-mata bermeksud untuk menghilangkan haus tenggorokan. Namun kedai kopi adalah juga tempat untuk menghilangkan haus bicara. Ibarat gedung kuya para wakil rakyat di Jakarta, kedai kopi adalah juga gedung kuya bagi para pendulang timah Belitung. Mereka menyuarakan kritik serta aspirasi mereka terhadap pemerintah ataupun kehidupan mereka disana. Sayangnya, suara-suara itu hanya bagai gaung di tengah gulita, tak pernah sampai ke telinga para pemegang tonggak pemerintah. Kopi adalah cerminan dari karakter serta kondisi seseorang. Itulah hasil dari penelitian yang dilakukan Ikal selama bekerja di warung kopi.
Selain kopi, catur menjadi satu trend yang tak boleh dilewatkan. Pertandingan catur digelar di warung-warung kopi menjelang 17 Agustus. Lagi, seorang wanita pendulang timah ingin mengalahkan mantan suaminya yang 2 tahun lalu menyabet juara umum kejuaran catur. Dia bahkan mengatakannya saat tak satupun pion catur yang ia kenal. Dialah pembelajar sejati yang tidak pernah gamang untuk belajar dan menantang ketidakmungkinan. Berlatih-kalah-berlatih-kalah menjadi siklus yang tak berkesudahan selama 500 kali. Namun, pada kali yang ke-600 sekian, keuletan melahirkan wajah aslinya.  Jadilah ia seorang pecatur perempuan pertama di Belitung. Pencapaian seorang Maryamah menjadi titik kulminasi dari kesempatan-kesempatan perempuan lainnya di bidang catur.
Dwilogi “Padang Bulan-Cinta dalam gelas” adalah lukisan dari kultur masyarakat Belitung pada masanya. Penggunaan diksi serta pengilustrasian masyarakat Melayu menjadikan buku ini sangat hidup. Selain cerita tentang sang Legenda, dituturkan pula tentang banyaknya orang-orang eksentrik disana, mereka antara lain adalah: A Ling si pecinta punai, Zinar-target salah cemburu, detektif M.Nur-sahabat sekaligus pelatih merpati pos andal, Paman yang paradoks- bersikap amat lembut dengan keluarga namun bisa berubah drastis  saat menemukan kesalahan di warung kopi, Ikal bersama kumpulan bujang lapuknya, Alvin the Chipmunk- keponakan penggila catur dan permen cicak, Lintang- masih dengan tatapan “secepat apa engkau berlari kawan?”, dan tokoh-tokoh eksentrik lain yang tak bisa kuingat namanya dengan baik.
Selamat membaca J

Kamis, 04 Oktober 2012

waktu

akhirnya aku tahu untuk siapa kalimat ini kuucapkan
ana athsyanah bi liqo'ik
mungkin si penyair arab itu juga mengucapkannya untukmu

Ibu

Rabu, 26 September 2012

SEPOTONG HATI




Selalu ada mutiara-mitiara hikmah jika kita mau memperhatikan. Selalu ada berlian-berlian mahal jika kita mau mendengar. Selalu ada yang istimewa dari orang-orang biasa yang ada di sekeliling kita. Mereka itu bukanlah dia yang bercuap-cuap dengan janji-janji manis untuk perekonomian yang lebih baik. Bukan dia dengan senyum-senyum palsu diatas penderitaan rakyat. Ah… sungguh jauh rasanya aku berandai-andai. Tapi sobat, sekali-kali perhatikanlah teman dudukmu, kau akan temukan padanya keistimawaan yang luput dari matamu. Tahukah sobat tentang siapa aku bercerita saat ini? Tentang si lembut hati dan si pantang mundur.

Entah seperti apa rasanya memiliki hati selembut sutera. Karna aku bukanlah manusia yang mudah tersentuh hatinya. Bukan orang yang akan merasa sedih jika saudaranya bersedih, aku hanya akan bersedih jika aku bersedih. Egois memang. Tapi aku hanya tak tahu bagaimana bersedih untuk kesedihan orang lain, tak mengerti bagaimana berbahagia untuk kebahagiaan orang lain. Kembali pada si lembut hatinya. Dia menangis sobat. Kau tahu untuk apa? Untuk anak-anak didik yang ditunggunya. Untuk anak-anak didiknya yang tak kunjung datang ketika senja berhiaskan kelabu di ujung  langit. Untuk penantiannya yang sia-sia padahal dia sendiri tengah disibukkan dengan kewajibannya. Tapi bukan untuk waktunya yang terbuang sia-sia dia menangis, tapi kesedihan karena anak-anak didiknya tak akan tertawa-tawa bersama-sama senja itu, karena kekhawatirannya pada semangat anak didiknya. Lalu aku? Aku hanya termangu dan berfikir alangkah tidak menghargainya mereka pada waktu yang diluangkan untuk mereka. Padahal saat itu aku tak disibukkan dengan sesuatu apapun. Ada satu hal yang ku khawatirkan, jangan-jangan mereka tak datang hari itu karena aku? Mungkinkah? Atau mungkin mereka merasakan kekerasan hatiku? Mereka mengenaliku bahkan ketika aku memasang topeng ketulusan dihadapan mereka. 

Ya Muqollibuk Qulub Althof Qulubi bimahabbatik… amin.

Si lembut hati yang lain,
Dia : beasiswanya gak keluar?
Aku : keluar, kata siapa?
Dia : Ya Allah seneng banget, katanya kirain gak keluar
Aku pikir untuk apa dia berbahagia untuk kebahagiaanku dan bersedih untuk ketidakberuntunganku? Mungkin itulah yang dinamakan si lembut hatinya, merasakan apa yang saudaranya rasakan. Sekali lagi rasanya, perasaan tak peduli itu menamparku. Kenapa ada yang peduli padaku sedang aku tak merasa harus memerdulikannya?

Althif qulubi binurika Ya Allah……
2011-11-01

Sabtu, 22 September 2012

Menunggu hujan


Menunggu hujan. Menanti-nanti suara hujan. Berharap ia rela  singgah menemani keheningan malam ini. Berharap hujan mau mendengar kesedihanku, memohon ia mau menghapus kekecewaanku. Kutunggu ia hadir menyapa genting yang berlumut, singgah di jalan tandus beraspal. Atau menegtuk-ngetuk jendela kamarku. Ah, kulupa… hujan tak kan mampu menggapai jendela kamarku.
 Aku tetap menunggunya. Bernafas lega ketika akhirnya ia benar-benar mendengar panggilanku. Hei hujan relakah engkau berbagi waktu denganku. Turunlah untuk menggantikan air mata yang tak kunjung jatuh. Meleburlah dalam celah tanah untuk mengikis habis kekecewaanku. Kau tahu, ternyata mereka mampu, mereka yang selama ini ku kagumi, ku pandang hebat dari segala arah. Ternyata bisa menggores luka di hatiku. Orang-orang yang kuanggap paling hebat, ternyata mampu membuatku kalut malam ini. Aku dikecewakan. Itu sederhananya.  Dan aku harus bersedih untuk kekecewaan ini pikirku. 
Aku memang selalu menjadi bayangan, tak pernah benar-benar ada, untuk tidak menyebutku benar-benar tak berguna. Ku kira bayanganku mulai terlihat. Ternyata aku salah, seseorang dengan bayangan tetap saja hanya terhitung satu orang bukan? Ingin ku marah, berteriak di hadapan mereka misalnya, tapi aku tak bisa. Entahlah, mungkin karena aku takut, merasa tak punya hak, atau aku kadung terlalu me-maha-kan mereka. Aku ingin bersikap biasa, seolah tak ada apapun.
 Tapi hati kecil ini terus merongrong, ia tak mau terima atas perlakuan ini. Terimakasih untuk singgahmu malam ini hujan. Ku harap kau membawa pergi kisahku dengan kemarahan serta kekecewaan yang mengisinya. Aku tahu, esok pagi akan menyapa. Kuharap kau tak meninggalkan sedikitpun kisahku malam ini. Biarkan aku menghirup udara baru  esok pagi, yang penuh cinta dan segudang pengertian. Berkunjunglah dengan kisah malam ini saat hatiku mulai hangat dengan kebaikan mereka, agar aku bisa tertawa dengan kekonyolanku malamini. Walau bagaimanapun,   mereka tetap teropongku, teropong yang Sang Pencipta berikan agar aku bisa melihat senyum dunia. Kumohon jangan hinggapi tidurku dengan kekecewaan ini. 

*hari ini merasa konyol dengan tulisan ini :D