Selasa, 23 Oktober 2012

Pohon yang Berbuah



“Lelaki itu menempuh perjalanan berbulan-bulan melewati tandusnya padang pasir nan mengganas demi tayabun keshohihan sebuah hadis.” Berulang kali aku mendengar kisah ini, merenungkannya, namun tetap belum dapat kuhayati khittah perjuangannya. Maka tak salah janji surga bagi penuntut ilmu di jalan Allah. Kisah ini terjadi ratusan tahun silam. Ulama-ulama perawi hadits, perumus hukum-hukum fiqih, para da’i yang mensyiarkan kalimat-kalimat tauhid.

Kucoba resapi perjuangan para gudang ilmu terdahulu. Yang kutemukan adalah bayangan bias diriku antara ketidakyakinan dan ketidakteguhan. Seperti benang merah yang kutemukan dalam Ahmad Fuadi dalam Negeri 5 Menaranya, Moh Amin dalam anak-anak Langitnya, Juga Andrea Hirata dalam Laskar Pelanginya. Orang-orang biasa tidak lahir dengan pola yang biasa-biasa saja. Untuk menjadi diatas rata-rata perlu usaha di atas rata-rata pula. Lagi-lagi aku tersentak tiap kali mengingat prinsip itu. Jangankan di atas rata-rata, melebihkan setengah jam waktu tidur saja Aku enggan.

Kemarin lusa usai menghadap DP (Dosen Pembimbing) setelah hampir 5 bulan tidak menghadap, Aku menampakkan diri lagi di Kantor Jurusan. Demi menyatukan 2 kepala Dosen yang kerapkali bertolak belakang, kalang-kabut dan cukup rusuh saat Aku menunjukkan materi Bab satuku. Entah apa yang terjadi (Aku hingga tak sadar sudah membuat rusuh suasana), hingga seorang dosen bertanya padaku “Emang kenapa sih Is? Ribet banget kayaknya. Emang kemaren kemana aja?”

Bismillah, kutekadkan dalam diri untuk berusaha lebih keras. Esoknya Aku pergi ke perpustakaan UIN SYAHID JKT, belum aku sempat Aku melewati pintu masuk terpampang tulisan “Tutup. Mati lampu”. Kuayunkan kaki menuju perpustakaan FDI (Fakultas Dirasat Islamiyah), mati lampu juga beruntung perpustakaan masih buka. Setelah mendapatkan dua buku bidang tafasir kusempatkan membaca Ibnu Katsir surat Al Qalam “Pena”. Dua halaman membaca mataku mulai terkantuk-kantuk. Namun tiba-tiba “Rest Time” suara Ustadz penjaga perpustakaan mengembalikan kesadaranku. Setelah pulang dengan hasil nihil, sempat tersasar pula. Meghadap Bapak-Ibu DP pun cukup sulit.

Ketika Aku mengeluhkan banyak hal tentang kesulitan menggarap skripsi ini, seharusnya Aku banyak belajar dari kesungguhan alim-alim pecinta ilmu. Barokahnya mereka boleh jadi dari keikhlasan mengejar dan belajar meski ditempa ujian berlipat ganda. Ada kekhawatiran yang yang hinggap, jikalau Aku tak meniatkannya atas-Mu. Maka Rabbi, Ya ‘Aliim jadikanlah hamba golongan orang-orang yang bermujahadah dalam menuntut ilmu di jalan-Mu. Agar kelak apa yang kupelajari tak sekedar syarat menuju gelar yang digilai pemuja dunia, namun juga bernilai ibadah sehingga berkah dan bermanfaat.

Jadilah pohon yang berbuah, memberikan kemanfaatan. Maka jadikanlah apa yang tengah kupelajari sebagai bagian dari pengamalan ilmu kelak.
العلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر   

Senin, 15 Oktober 2012

SUBUH HARI DI BULAN MEI



Januari Jerami. Itu namanya, lahir di bulan januari. Namun aku tak menemukan makna pada jerami, kupikir mungkin dia lahir tepat diatas tumpukan jerami. Asumsi yang musykil.

Kalau begitu namaku pasti Mei, lahir di bulan mei. Ibuku melahirkan di klinik Bu Bidan. Kupikir namaku akan sangat tidak enak didengar. “Mei Bidan”. Beruntung nama ini tak benar-benar dipatenkan hak milikku.
Setiap kelahiran menyimpan ceritanya masing-masing. Ceritaku, jum’at subuh pukul 3 pagi di klinik yang sekaligus merangkap rumah Bu Bidan, tak jauh dari rumah Ummi-Nenek. Aku tak tahu seberapa berat dan susahnya perjuanganmu memperjuangkan si sulung ini. Cerita-cerita yang terulang seperti rekaman kaset selalu keluar dari mulutmu.

“Kau tahu Nak, kau tidak menangis saat keluar dari rahim Ibu.” Entah mengapa Bu Aku tidak menangis, mungkin saat itu kau telah banyak bercerita tentang dunia yang akan segera kutapaki, mungkin juga aku terlalu terkejut dengan atmosfer baru yang tiba-tiba. “Sehingga tak satu katapun keluar dari lisanku. Nenekmu yang menunggu di luar ruangan hanya mampu menghela nafas panjang, tak terdengar suara tangis bayi, mungkin belum waktunya makhluk kecil ini menatap dunia.” Namun, abracadabra… makhluk kecil itu mampu bertahan tanpa tangis.

“Dulu Kau hanya sebesar botol kecap. Bu Bidan selalu mengingatmu sebagai Si botol.” Nampaknya Aku amat kecil Bu, hingga julukan itu terus melekat. Aku ingat Uak yang selalu menggodaku sewaktu kecil, “Ada anak yang lahir cuma sebesar botol….” Lelucon itu tentu Aku, Si Botol.

Tak seperti kebanyakan keluarga dengan bayi baru lahir yang gaduh dengan suara tangis. Rumah kita justru amat tenang, tak ada tangis lapar atau popok yang basah. Aku begitu amat pendiam. Tidur-tiduran sepanjang hari. Kau pikir Aku bisu, mungkin juga tuli. Malangnya, si Botol yang bisu. Kendati begitu, tak sedetikpun  Kau mengeluh. Tetap menyanyikanku Nina bobo, memberiku asi setiap 2-3 jam sekali sebelum aku rewel meminta. Aku memang tak meminta, nampaknya Aku terlalu terlena dalam tidur panjangku. Malam hari Kau tetap terjaga, berjaga-jaga khawatir Aku kelaparan dalam tidur. Sebuah keajaiban datang. Sekitar 36 jam sejak kelahiranku keluarlah satu suara dari mulutku. “Eu”. Hanya itu, selanjutnya Aku tetap asyik masyuk dalam tidurku. Mungkin karena itulah namaku dimulai dari dua vocal itu. Aku tak sempat bertanya tentang asal muasal namaku yang amat nyunda itu.

Aku amat merindukan cerita itu, Bu. Si Botol di bulan Mei yang berdekatan dengan Idul Fitri. Aku selalu ingin mendengarnya lagi dan lagi. Aku selalu ingin mendengar ceritamu, Bu. Bisakah kau ceritakan lagi padaku?

Peluk cium anakmu
Ibuku tersayang
Yang disayangi Allah
ربي اغفر والدتي وارحمها كما ربّتني صغيرا وامكنها في أحسن المكان عندك

Rabu, 10 Oktober 2012

Anak-Anak Langit


Klasik memang cerita tentang seorang anak yang ingin bersekolah di sekolah unggulan Negeri namun terdampar di MAK (Madrasah Aliyah Khusus) atau serupa pesantren. Itulah yang terjadi pada Simuh, bujang tanggung di Bagan Siapi-api yang tersasar ke kaki gunung Singgalang dan Pinggang Merapi. Cuaca yang menusuk kulit di malam hari menjadi teman yang tak dapat ditolak kehadirannya. Namun, apa yang ia temukan disana ternyata bukan sekumpulan anak buangan, melainkan kumpulan bibit-bibit unggul yang disatukan dalam satu asrama, MAK. Petualanganpun dimulai. Bersaing dengan 40 anak dalam 10 kamar tidur dan 4 kamar mandi menjadi cerita yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Bayangkan saja, belajar disana bagaikan berjalan di antara dua sisi jalan yang berkontur 45%, jika lengah dalam belajar maka peringkat pertama yang didapat di kampung dapat meluncur drastis ke peringkat 30-40.  Kendati berbentuk asrama namun sistem pengawasan dan penjagaan tak seketat yang diterapkan pesantren. Walaupun aroma persaingan amat kuat tercium, namun bujang-bujang tanggung ini tak lepas juga dari godaan-godaan masa labil. Bermula dari keluarnya sang pengurus asrama yang hanya seorang saja, yang kemudian posisi itu kosong hingga satu setengah tahun ke depan menjadikan mereka bagai anak-anak broken home versi  asrama. Kenakalan-kenakalan kecil seperti menonton tv, saling mengirim salam dan angek-angek dengan siswi MA, hingga kenakalan yang lebih fatal menjadi pelajaran serta cerita yang tak terbayarkan.
Inilah romansa tentang sekumpulan anak-anak yang tinggal di asrama. Pelajaran tak termaktub menjadi polesan lain warna kehidupan. Pelajaran tentang berbagi, kebersamaan, kemandirian, tanggung jawab pemuda, keegoisan, kerja keras, dan persaingan tentunya menjadi pelajaran yang hanya dapat dikecap dalam interaksi social bersama kawan-kawan seperjuangan. Seringkali muncul pandangan absurd dalam diri mereka sendiri ketika mereka dilabeli sebagai anak-anak langit, yang digaung-gaungkan menjadi ulama dan pemimpin masa depan namun kerapkali mengedepankan ego. Nilai yang nisbi, memotivasi sekaligus menjadi beban amat berat.  Mungkin inilah proses dalam menjadi dewasa dan pemimpin.
Terdapat tiga macam pembelajar disana, pembelajar pertama adalah mereka yang istiqomah belajar tanpa terbawa arus yang sedang terjadi, tipe kedua adalah mereka yang mudah digonjang-ganjing dalam arus kebaikan atau keburukan, tipe terakhir adalah kumpulan akan-anak yang memang cenderung mencari-cari celah untuk berbuat nakal. Selain tipe pembelajar, ada pula tipe orang-orang yang hebat dalam berbagai bidang, antara lain: pemimpin sekaligus provokator handal,  orator berpengaruh, olahragawan yang menawan, inspirator berpembawaan tenang, pendebat-pendebat ulung, ketua DKM yang hobi tidur-belajar di belakang mimbar. Bermacam-macam pula cara belajar yang dipraktekkan oleh siswa-siswa disana, mind map, sketsa pelajaran, bersembunyi di belakang mimbar, pura-pura tidur namun diam-diam belajar, di dalam kelas dengan penerangan sebatang lilin, kalkulasi dengan angka, dan banyak lagi cara belajar unik lainnya.
Dua hal yang menjadi ruh dalam kehidupan merantau disana adalah “Syubbanul yaum rijalul ghod” dan jadilah pembelajar macam ikan. Meski air laut berasa asin namun ikan tidak latah menjadi asin. Meski apapun arus yang tengah menerjang jangan sampai terbawa arus yang buruk.
Selanjutnya, silahkan baca buku ini. Lukisan tentang dinginnya hawa Singgalang, Ibu guru hebat yang lagi-lagi aku lupa namanya, kepala sekolah yang paradoks, perploncoan yang mendebarkan penuh kesan, dan edelweis di puncak gunung. 

Dwilogi Padang Bulan


Berani
Dalam sembarang waktu dan ruang
Tela disediakan untukmu
Medan untuk berperang
Beranikah engkau menghunus pedang?
Inilah kisah tentang si legenda, Marymah binti Zamzami (Maryamah Karpov). Seorang perempuan di tengah masyarakat patriarchal pendulang timah. Profesi pendulang timah yang tadinya hanya dikerjakan oleh kaum lelaki harus ia geluti sejak usia 14 tahun. Sepeninggal Ayahnya, ialah yang menjadi tulang punggung keluarga menghidupi tiga adik serta Ibundanya. Kendati tanggung jawab ini tak pantas dipikul oleh gadis yang belum tamat SD, namun ia tetap menjalaninya dengan penuh semangat. Ia pula yang menyekolahkan adik-adiknya.
Tahun demi tahun ia lewati dalam kubangan lumpur yang menyembunyikan remah-remah timah yang tersisa, namun ada satu mata pelajaran yang sangat ia cintai sejak kecil. Father, mother, son, daughter. Ya, kecintaannya terhadap Bahasa Asing ini tak lekang dimakan waktu. Jadilah saat sebuah lembaga kursus dibuka di Tanjung Pandan ia mendaftar untuk belajar disana. Awalnya kepala sekolah sempat ragu, namun siapa siangka ia menjadi salah satu luusan terbaik. Belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seorang yang bukan penakut.
Dalam masyarakat Belitong yang mayoritas bermatapencaharian sebagai pendulang timah, ada satu tempat yang tak boleh terlewatkan setiap harinya. Kedai kopi atau warung kopi menjadi tempat membuminya pada pribumi disana. Jika seseorang pergi ke warung kopi, maka ia tidak semata-mata bermeksud untuk menghilangkan haus tenggorokan. Namun kedai kopi adalah juga tempat untuk menghilangkan haus bicara. Ibarat gedung kuya para wakil rakyat di Jakarta, kedai kopi adalah juga gedung kuya bagi para pendulang timah Belitung. Mereka menyuarakan kritik serta aspirasi mereka terhadap pemerintah ataupun kehidupan mereka disana. Sayangnya, suara-suara itu hanya bagai gaung di tengah gulita, tak pernah sampai ke telinga para pemegang tonggak pemerintah. Kopi adalah cerminan dari karakter serta kondisi seseorang. Itulah hasil dari penelitian yang dilakukan Ikal selama bekerja di warung kopi.
Selain kopi, catur menjadi satu trend yang tak boleh dilewatkan. Pertandingan catur digelar di warung-warung kopi menjelang 17 Agustus. Lagi, seorang wanita pendulang timah ingin mengalahkan mantan suaminya yang 2 tahun lalu menyabet juara umum kejuaran catur. Dia bahkan mengatakannya saat tak satupun pion catur yang ia kenal. Dialah pembelajar sejati yang tidak pernah gamang untuk belajar dan menantang ketidakmungkinan. Berlatih-kalah-berlatih-kalah menjadi siklus yang tak berkesudahan selama 500 kali. Namun, pada kali yang ke-600 sekian, keuletan melahirkan wajah aslinya.  Jadilah ia seorang pecatur perempuan pertama di Belitung. Pencapaian seorang Maryamah menjadi titik kulminasi dari kesempatan-kesempatan perempuan lainnya di bidang catur.
Dwilogi “Padang Bulan-Cinta dalam gelas” adalah lukisan dari kultur masyarakat Belitung pada masanya. Penggunaan diksi serta pengilustrasian masyarakat Melayu menjadikan buku ini sangat hidup. Selain cerita tentang sang Legenda, dituturkan pula tentang banyaknya orang-orang eksentrik disana, mereka antara lain adalah: A Ling si pecinta punai, Zinar-target salah cemburu, detektif M.Nur-sahabat sekaligus pelatih merpati pos andal, Paman yang paradoks- bersikap amat lembut dengan keluarga namun bisa berubah drastis  saat menemukan kesalahan di warung kopi, Ikal bersama kumpulan bujang lapuknya, Alvin the Chipmunk- keponakan penggila catur dan permen cicak, Lintang- masih dengan tatapan “secepat apa engkau berlari kawan?”, dan tokoh-tokoh eksentrik lain yang tak bisa kuingat namanya dengan baik.
Selamat membaca J

Kamis, 04 Oktober 2012

waktu

akhirnya aku tahu untuk siapa kalimat ini kuucapkan
ana athsyanah bi liqo'ik
mungkin si penyair arab itu juga mengucapkannya untukmu

Ibu