Selasa, 21 Januari 2014

PAK TUA (bukan versi Borno)

Di zaman ini, saat banyak penguasa yang bertindak untuk kemaslahatan dirinya sendiri masih banyak pula orang-orang baik, amat baik. Yang terlihat, tersorot kamera, dipuji-puji orang, diberitan di televisi dan koran-koran, begitupun orang-orang baik di jalan sunyi, yang namanya tak disebut manusia di dunia namun menggaung di langit. Alhamdulillah, dimananpun saya selalu bertemu orang-orang baik itu.

Kali ini masih berkaitan dengan aktfitas saya di ramadhan 1433 H dalam acara "BBY" belanja bareng yatim. Acara yang mengundang ratusan anak yatim untuk berbelanja di sebuah supermarket, saat itu saya sebagai salah seorang koordinator di kelompok yang didampingi oleh seorang Pak Tua, guru teladan yang sederhana dalam kacamata saya.

Beberapa kali mengkoordinatori kelompok sekaligus bersinergi dengan pendamping (baik perempuan atau laki-laki) membuat saya mampu membedakan antara pola belanja kaum adam dan kaum hawa. Kaum wanita biasanya sangat detail terhadap perbedaan harga, bahkan seratus dua ratus rupiah, sehingga terkadang -menurut saya- mereka memaksakan ghiroh belanja mereka kepada anak-anak, kadang kala anak-anak jadi tak leluasa memilih, kabar baiknya pertimbangan kaum hawa yang masak mampu menghemat dan mengarahkan anak-anak agar memilih barang-barang yang berguna. Tapi kadangkala saya selalu kehabisan peran untuk mengarahkan anak-anak, hehe.

Sebaliknya Bapak-bapak tak melihat detail pada harga hanya pada barang, sehingga anak-anak dapat memilih barang yang mereka sukai, kabar buruknya kadangkala saya melongo sendiri jika melihat anak-anak memilih mainan yang kurang bermanfaat dengan harga yang cukup mahal padahal dengan nominal itu mereka dapat memilih barang lain yang lebih berguna. Disinilah peran saya sebagai koordinator "bermain" dan naluri keibu-ibuan saya "berfungsi", hehe.

Untuk meminimalisir belanjaan anak-anak yang kurang bermanfaat bagi mereka, maka kami menetapkan beberapa item yang harus dibeli, salah satunya beras. Pak Tua ini langsung menyampaikan pada saya bahwa anak-anak tinggal di kampung dan beras melimpah disana. Tak sedikitpun dia memonopoli belanja anak-anak kecuali sekedarnya. "Anak-anak tidak pernah dapat kesempatan seperti ini, biarkan mereka memilih sesuka mereka", katanya. Pak Tua ini, saya tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Rambutnya yang sebagian besar beruban, setelan safari coklat model lama, dan senyum khasnya. Jika kau menatap matanya dan menemukan senyumnya, kau akau langsung tahu kejernihan hatinya. Lelaki tua yang dengan tulus menyayangi anak-anak yang sebagian besar tak berayah itu. Allah Allah Allah....
Saat bertemu dengannya saya mengerti "kemuliaan tidak akan pernah tertukar". Kekayaan hatinya mampu mengalahkan kemilau berlian para pembesar.

Tak hanya Pak Tua, anak-anakpun seringkali membuat saya terharu. "Saya mau beli sandal untuk adik dan Ibu." ucap salah seorang anak. Allahu Akbar... lagi-lagi, mutiara terpendam itu saya temukan padanya. Satu kesempatan yang ia dapatkan, sedikit rezeki yang ia punya, masih selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Sudahkah kita sepertinya? atau masih bakhil terhadap saudara sendiri?

Segala puji bagi Allah yang sudah mempertemukan dengan mereka. Meski hanya hitungan jam, tapi hingga kini ketulusan mereka masih saya ingat. Jadikan saya diantara hamba-hambaMu yang berfikir Allah.

Gambar Google

2 komentar:

  1. berpotensi jadi penulis novel nih....
    lanjut novelnya Habiburrahman El-Shirazy..

    lanjutkan...! :-)

    BalasHapus