Terpogoh saya membawa ransel yang berisi penuh buku. Bukan perjalanan yang jauh, namun satu setengan jam ditambah macet dan ngetem yang diluar perkiraan sudah pasti menguras tenaga. Saya sudah mulai memperkirakan bahwa perjalanan dari kampus menuju rumah akan menyebalkan dengan bawaan sebanyak ini. Dimulai dari metromini 53 dari Rawa mangun lalu disambung bis Cibinong dan angkot 08.
Matahari tengah giat-giatnya menyinari bumi, namun para penumpang setia 53 tetap membanjiri angkutan satu ini. Beruntung saya dapat tempat duduk. Tetiba di Prumpung saya turun tepat di depan tukang es cincau untuk selanjutnya menunggu bis tujuan Cibinong. Disinilah saya bertemu dengannya.
Saya: Pak, mau ikut duduk ya (padahal gak beli).
Pak es: Iya mbak (mempersilahkan)
Saya duduk dengan pandangan melas (capek...)
Pak es: Mbaknya kuliah ya?
Saya: Iya pak
Pak es: Saya juga dulu kuliah
Saya: Ooh... (wah langsung mikir sedihnya Bapak ini mungkin gak bisa nerusin kuliah karena kekurangan biaya)
Pak es: (sambil tersenyum) Kuli angkut garam di Pelabuhan ratu
Hehehe... Bapak ini aya-aya wae...
Saya: Bapak rumahnya dimana?
Pak es: Gak dibawa mbak, berat kalau dibawa)
Wealah skak mat saya... Hoho
Bapak penjual es cincau itu, yang gak saya kenal, yang saya gak tau namanya, yang saya gak beli esnya. Masih mau-maunya ngobrol dengan saya yang gak asik dan garing diajak guyon. Saya jadi ketawa-ketawa terus dengar guyonnya dia, bahkan sempet-sempetnya nasehatin "Sekarang kuliah, nanti lulus, terus kerja. Nah, nikahnya kapan?". Hahaha.... ada aja. Padahal apa untungnya ngingetin saya, sodara bukan, tetangga bukan. "Jangan lupa nikah." tambahnya lagi. Ngobrol dengan bapak es cincau itu gak pernah ngebosenin, meskipun saya lebih banyak ngedengerin (gak bisa nimpalin candaannya =_=).
Jleb banget. Saya jadi malu sendiri. Bisa-bisanya ngeluh cuma bawa ransel yang beratnya gak seberapa. Dibanding bapak itu yang setiap hari mendorong gerobak es cincau puluhan kilometer. Bergelut dengan bisingnya kendaraan dan debu jalanan, tapi masih bisa melapangkan beban saudaranya (saya). Dialah da'i itu, yang mengamalkan sunnah Rasulullah. Saya beruntung bertemu dengan bapak itu. Kita tidak akan pernah mampu mencukupi kebutuhan saudara kita dengan harta, maka cukupkanlah dengan akhlak.
"Janganlah engkau meremehkan kebaikan sedikitpun, walau dengan menemui saudaramu dengan wajah berseri" (H.R. Muslim)
Terima kasih Allah telah menegur dengan cara amat halus, melalui pertemuan dengan hamba-Mu yang luar biasa.
Esok lusa saat kau melihat penjual es cincau di Prumpung, bisa jadi ia Bapak es yang saya tulis disini.
^_^
Matahari tengah giat-giatnya menyinari bumi, namun para penumpang setia 53 tetap membanjiri angkutan satu ini. Beruntung saya dapat tempat duduk. Tetiba di Prumpung saya turun tepat di depan tukang es cincau untuk selanjutnya menunggu bis tujuan Cibinong. Disinilah saya bertemu dengannya.
Saya: Pak, mau ikut duduk ya (padahal gak beli).
Pak es: Iya mbak (mempersilahkan)
Saya duduk dengan pandangan melas (capek...)
Pak es: Mbaknya kuliah ya?
Saya: Iya pak
Pak es: Saya juga dulu kuliah
Saya: Ooh... (wah langsung mikir sedihnya Bapak ini mungkin gak bisa nerusin kuliah karena kekurangan biaya)
Pak es: (sambil tersenyum) Kuli angkut garam di Pelabuhan ratu
Hehehe... Bapak ini aya-aya wae...
Saya: Bapak rumahnya dimana?
Pak es: Gak dibawa mbak, berat kalau dibawa)
Wealah skak mat saya... Hoho
Bapak penjual es cincau itu, yang gak saya kenal, yang saya gak tau namanya, yang saya gak beli esnya. Masih mau-maunya ngobrol dengan saya yang gak asik dan garing diajak guyon. Saya jadi ketawa-ketawa terus dengar guyonnya dia, bahkan sempet-sempetnya nasehatin "Sekarang kuliah, nanti lulus, terus kerja. Nah, nikahnya kapan?". Hahaha.... ada aja. Padahal apa untungnya ngingetin saya, sodara bukan, tetangga bukan. "Jangan lupa nikah." tambahnya lagi. Ngobrol dengan bapak es cincau itu gak pernah ngebosenin, meskipun saya lebih banyak ngedengerin (gak bisa nimpalin candaannya =_=).
Jleb banget. Saya jadi malu sendiri. Bisa-bisanya ngeluh cuma bawa ransel yang beratnya gak seberapa. Dibanding bapak itu yang setiap hari mendorong gerobak es cincau puluhan kilometer. Bergelut dengan bisingnya kendaraan dan debu jalanan, tapi masih bisa melapangkan beban saudaranya (saya). Dialah da'i itu, yang mengamalkan sunnah Rasulullah. Saya beruntung bertemu dengan bapak itu. Kita tidak akan pernah mampu mencukupi kebutuhan saudara kita dengan harta, maka cukupkanlah dengan akhlak.
"Janganlah engkau meremehkan kebaikan sedikitpun, walau dengan menemui saudaramu dengan wajah berseri" (H.R. Muslim)
Terima kasih Allah telah menegur dengan cara amat halus, melalui pertemuan dengan hamba-Mu yang luar biasa.
Esok lusa saat kau melihat penjual es cincau di Prumpung, bisa jadi ia Bapak es yang saya tulis disini.
^_^