Sabtu, 08 Desember 2012

CUKUP MATA-NYA MELIHAT



“Cukup! Bacaan kamu banyak salahnya, jangan asal keras dong kalau membaca. Memangnya kamu tidak pernah belajar? Baca segitu aja gak bisa. Apalagi terjemahan kamu. Berantakan”. Hardikan  itu bak halilintar menyambar di siang bolong, mendarat sempurna di telingaku. Atmosfer kelas tetap panas meski pendingin udara dinyalakan, mungkin efek dari mulut pedasnya Pak dosen yang satu ini. Baru saja aku membaca (kitab gundul) dengan semangat hasil belajarku bermalam-malam kemarin, berharap Bapak dosen ini akan mengapresiasi hasil belajarku. Nyatanya tak sampai satu menit aku unjuk gigi dia sudah mengomentariku sepedas itu. Rasanya makhluk satu ini tak punya hati, tak bisakah ia sedikit menghargai hasil kerja keras seseorang? Jangan ditanya lagi warna wajahku, mungkin merah-keunguan, menahan malu dipermalukan teman-teman sekelas.
Nah, yang  ini baru harus dicontoh”. Beruntung, Rima teman sekamarku  mendapat pujian dari dosen killer ini. Hah… ini tak adil. Jelas-jelas bermalam-malam kemarin aku tahan kantukku untuk belajar sungguh-sungguh, tak dianya justru Rima-lah yang kulihat tidak belajar yang mendapat pujian setinggi langit. Yang dipuji jelas mesem-mesem jumawa, setelah itu selalu nama Rima lagi yang disebut-sebut. Sedangkan yang lain hanya mampu memandang iri dan menahan dongkol dalam hati, apalagi aku dengan rekor diberhentikan tercepat.
“Kamu yang baca paling keras. Tidak malu apa kamu dengan teman kamu Rima…..” Grrrr…. Nasehat atau justru olok-olokan itu dialamatkannya padaku. Sungguh rasanya aku ingin pura-pura pingsan saja.
Hari ini hari paling buruk dalam sejarah hidupku. Setelah di kelas habis dikuliti dosen killer, belum habis kejengkelanku. Aku kembali dikejutkan dengan selembar kertas yang kutemukan di tong sampah. Sepertinya aku kenal guratan pena ini. Ha…. Bukankah ini hasil karikaturku semalam?
Malam tadi usai belajar aku menghubungi kak Edi. Dia adalah kepala departemen informasi di BEMJ (Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan), dan aku salah seorang stafnya. Sudah berbulan-bulan isi mading tidak diganti, jadi meminta izinya untuk mengisinya dengan materi baru. Kebetulan momentnya pas dengan tahuk baru Hijriah, jadi aku membuat karikatur tentang tahun baru hijriah. Semalam suntuk aku mengerjakannya, meski gambarku tak terlalu bagus aku yakin orang-orang yang membaca pasti akan mengerti isi dari karikaturku. Pagi tadi langsung kutempel sebelum masuk ke kelas. Tak tahunya, mahakaryaku berakhir mengenaskan di tempat sampah, teronggok tak berbeda dengan kertas pembungkus gorengan. Rasanya darahku mengalir cepat ke ubun-ubun, seperti jutaan volt listrik tengah menyetrum, kemarahanku tak tertahan lagi. Ingin rasanya kumaki siapapun yang pertama kali kutemui. Sekonyong-konyong datanglah temanku, dengan tanpa merasa bersalah berceletuk “Gambar siapa sih itu? Gak jelas gitu”. Kemarahanku yang tadinya memuncak sepertinya telah meletus mengeluarkan lavanya. Namun tak satupun serapah yang keluar. Aku terlalu syok dengan komentar temanku sendiri, yang kuharapkan dapat membesarkan hatiku justru menjatuhkanku sedemikian mengerikan. Ada yang sakit di hati ini, rasanya dadaku amat sesak. Ingin aku menangis, namun air mata itu tak kunjung keluar. Aku hanya mampu terkulai lemah dengan memegang hasil mahakaryaku.
Usut punya usut hujan deras tadi siang menyiram basah mading yang telah kuganti isinya. Akibatnya kertas yang ditempel menjadi lepek, dan inisiatif tangan-tangan rajin nan cekatanlah membuang kertas-kertas yang tertempel basah ke tempat sampah. Sudah tak layak baca mungkin pikir mereka. Namun, hati kecilku terus meraung. Tak tahukah mereka sebegitu bekerja kerasnya aku menyelesaikan karya itu. Ah… sudahlah aku hanya mampu menghibur diriku sendiri. Terlalu malu mengakui hasil kerjaku yang terlanjur dianggap tidak jelas sebelum aku sempat memproklamirkannya.
Hujan kembali mengguyur saat aku hendak mengayunkan kaki ke kosan. Aku lupa, tadi pagi payungku dipinjam anak Ibu kos yang kebetulan payungnya sedang rusak. Menerabas hujan sederas ini nampaknya bukan ide brilian. Nampaknya aku akan tinggal lebih lama di kampus sembari menunggu hujan agak reda. Oh.. nampaknya ada yang terlupa. Kubuka pesan masuk di hp-ku “Besok rapat di sekret jam 3, jangan telat”. Kugilir melihat jam di layar “03.30” pm. Aku sudah terlambat, aku tidak punya pilihan selain harus menerabas hujan menuju sekretariat yang berjarak ±1 KM dari pintu gerbang. Malangnya lift sedang diperbaiki, jadilah aku harus mendaki berpuluh anak tangga menuju lantai 5.
“Assalamu’alaikum”. Kuucapkan salam dan kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tak terlihat aktifitas rapat sedang berlangsung. Aku hampir kuyup ketika sampai di secret. “Eh Fika, ngapain? Habis darimana kehujanan begitu?” kebetulan sekali aku bertemu dengan Dian, teman sejawatku di departemen informasi. “Loh bukannya hari ini ada rapat?” aku balik bertanya. “Rapatnya kan kemarin sore, kenapa baru datang sekarang? Ketinggalan kereta ya Neng… hahaha…”. Tanpa merasa perlu memprihatinkanku dia justru tertawa berderai-derai diikiti koor penghuni sekret. Glek. Cukup sudah kemalanganku hari ini.
Sebelum pulang kusempatkan masih dengan baju basah kuyup membeli cake kecil untuk teman sekamarku. Hari ini dia ulang tahun, uang jajanku tak cukup untuk membelikan kado jadi kubelikan saja cake kecil yang dijual di toko roti seberang kampus. Aku harap dia akan senang dengan hadiah kecilku. Ternyata sisa uang jajanku hari ini sangat pas-pasan, aku bahkan tak bisa membeli jatah nasi untuk makan malam hanya cukup membeli mie instant. Tak apalah pikirku, aku sudah membayangkan wajah Dinda-teman sekamarku, dengan matanya yang berbinar-binar akan sangat senang bahkan terharu dengan hadiah kecilku. Aku masih sempat mengulum senyum membayangkannya.
Perkiraanku melesat 360°. Sesampainya di kosan, Dinda sudah berbinar-binar riang sebelum keberikan hadiah kecilku untuknya. Lantas tanpa dikomandoi, dia bercerita amat atraktif bahwa teman-teman sekelasnya memberinya kejutan. Kue tart besar, baru saja mereka bertolak sepuluh menit yang lalu. Dia bilang bahwa teman-temannya adalah yang terbaik sedunia. Aku meresponnya dengan wajah gembira yang amat dibuat-buat. Kusembunyikan kue yang telah kubelikan di dalam tas. Dengan teman-teman yang baginya seistimewa itu apalah artinya aku dengan cake kecilku? Lupakah ia, kemarin-kemarin saat kiriman orangtuanya belum sampai akulah yang ditumpanginya makan? Saat uangnya hilang sementara dia harus membayar traktir teman-temannya aku pulalah yang meminjaminya uang, meski seminggu ke depan keuanganku juga akan seret. Aku tak pernah mengungkit-ungkitnya. Ah… mengapa bisa kukatakan tak mengungkitnya sedang aku selalu mengingat kebaikanku dan melupakan kesalahanku?
Kunyalakan kran air sekeras mungkin saat hendak mandi. Aku ingin menangis, rasanya hari ini amat berat. Aku amat kecewa, aku dikecewakan, aku dikerdilkan, aku tak ubahnya hasil karikaturku yang dibuang di tempat sampah. Apa salahku Ya Allah? Aku terus bertanya dalam hati, mereka-reka dosa yang telah kuperbuat.
Sekelebat namun amat jelas Allah pertontonkan dosaku. Niatku yang melenceng. Aku terlalu sombong, merasa mampu, merasa berjasa, padahal apalah aku ini di hadapan-Nya? Saat belajar sungguh-sungguh aku hanya ingin mengesankan hati pak dosen. Berharap dia akan melihat dan memuji hasil belajarku, aku lupa bahwa yang Maha Melihat adalah Allah, aku lupa bahwa belajar jua adalah kewajiban darinya. Bukan semata-mata tuntutan dosen atau kampus.
Ketika aku membuat mading, yang kuharapkan adalah agar dilihat oleh orang-orang lantas mereka akan berdecak kagum pada hasil karyaku. Aku lupa lagi bahwa yang pertama kali melihat adalah Allah. Allah pula yang menggerakkan tanganku sehingga aku bisa menggoreskan pena di atas sehelai kertas. Aku lupa bahwa Allahlah yang kuasa meliputi ujung rambut hingga telapak kaki, tanpa izin-Nya bisa saja tanganku kelu untuk sekedar kugerakkan ke kanan dank ke kiri.
Saat aku datang untuk ikut rapat, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku adalah orang hebat, aku punya organisasi yang kujalani, aku ingin pengakuan khalayak bahwa aku seorang sibuker dengan agenda rapat bertubi-tubi. Aku ingin menunjukkan dimata teman-temanku yang tidak tergabung dalam organisasi bahwa aku lebih hebat dari mereka. Lagi-lagi aku lupa Yang Maha Hebat Maha Perkasa hanyalah Allah semata, maka saat Allah melihat kesombongan dalam diriku diterbangkannya kesombongku tanpa sisa.
Tak ada yang mampu kutunjukkan. Aku mungkin salah menilai orang-orang hebat adalah mereka yang terkenal, nyatanya pahlawan sejati adalah dia yang kebaikannya dirasakan, kebermanfaatannya dicicipi oleh lingkungan sekitar. Mereka adalah pahlawan di jalan kesunyian yang tek pernah tersorot lensa atau tersebut nama karena khawatir nilai keikhlasan kontribusi mereka hangus terkikis pujian. Allah tengah mengajarkanku makna kepahlawanan dan kehebatan baru, bahwa seorang pahlawan yang tentunya seorang hebat adalah dia yang berkontribusi tinggi-bermanfaat bagi sekitar dengan harapan hanya Allah-lah yang tahu. Biar Allah saja yang melihat amal-amal mereka. Ah… betapa ingin aku menjadi orang seperti itu, tak pernah tersebut manusia namun namanya mewangi oleh amal kebajikan.
Pun saat mengingat-ingat kebaikanku pada Dinda aku belum ikhlas. Masih saja aku mengungkit-ungkit kebaikanku padanya. Celakanya aku selalu lupa sikap jelekku padanya. Aku tak pernah tahu, mungkin dalam hati terdalamnya dia selalu memaafkan kesalahanku sebelum aku sempat minta maaf padanya. Ya Allah ampuni hamba yang terlampau buta dimabuk pujian mata-mata nista manusia. Ajari aku untuk ikhlas karena-Mu, bahwa Engkaulah yang akan pertama kali melihat amal-amalku.
Usai mandi kulihat Dinda baru selesai shalat. Samar dan lamat kudengar namaku disebutnya dalam doanya yang menghiba. Tanpa kusadar air mataku meleleh haru, Ya Allah untuk sahabat sebaik ini yang tak alpa mengabsenku dalam do’anya masihkah aku pantas tidak bersyukur atau menganggapnya kurang baik?
“Tok..tok..tok” Sebuah ketukan terdengar di pintu kamar kami. Rania, anak ibu kos yang bertandang. “Terimakasih ya kak pinjaman payungnya tadi pagi, sebagai ucapan terimakasih ini dari mama” katanya sembari menyodorkan dua kotak nasi. Alhamdulillah, ada saja rezeki di tengah krisis kantong macam ini. Padahal tadi pagi aku tak berharap apapun saat meminjamkannya payung, kebetulan sekolahnya agak jauh sedang kampusku hanya sepelemparan batu dari kosan. Jadi, tak ada ruginya bagiku sekedar meminjamkannya payung yang belum tentu kupakai. Bahkan Allah membalas amal kecil ini dengan balasan amat baik. Aku bertambah mengerti antara amal yang diniatkan karena-Nya dan bukan karena-Nya. Kuncinya saat berharap amal kita dilihat oleh mata manusia yang terkadang hanya melihat secara kasat mata, maka bersiaplah untuk kecewa. Adapun ketika kita berharap hanya Allah-lah yang melihat amal kita, niscaya kita tidak akan kecewa meski orang-orang justru mengecilkan, meremehkan, atau menghina hasil kerja kita. Tak pernah ada yang sia-sia dimata-Nya, karena Allah tidak akan mengecewakan kita, Allah pulalah yang akan menilai seadil-adilnya jerih payah kita. Yang besar di hadapan manusia belum tentu besar di hadapan Allah dan sebaliknya.
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.(Q.S. At-Taubah:105)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar