“Cukup! Bacaan kamu banyak salahnya, jangan asal keras dong
kalau membaca. Memangnya kamu tidak pernah belajar? Baca segitu aja
gak bisa. Apalagi terjemahan kamu. Berantakan”. Hardikan itu bak halilintar menyambar di siang bolong,
mendarat sempurna di telingaku. Atmosfer kelas tetap panas meski pendingin
udara dinyalakan, mungkin efek dari mulut pedasnya Pak dosen yang satu ini.
Baru saja aku membaca (kitab gundul) dengan semangat hasil belajarku
bermalam-malam kemarin, berharap Bapak dosen ini akan mengapresiasi hasil
belajarku. Nyatanya tak sampai satu menit aku unjuk gigi dia sudah
mengomentariku sepedas itu. Rasanya makhluk satu ini tak punya hati, tak
bisakah ia sedikit menghargai hasil kerja keras seseorang? Jangan ditanya lagi
warna wajahku, mungkin merah-keunguan, menahan malu dipermalukan teman-teman
sekelas.
“Nah, yang ini baru
harus dicontoh”. Beruntung, Rima teman sekamarku mendapat pujian dari dosen killer ini.
Hah… ini tak adil. Jelas-jelas bermalam-malam kemarin aku tahan kantukku untuk
belajar sungguh-sungguh, tak dianya justru Rima-lah yang kulihat tidak belajar
yang mendapat pujian setinggi langit. Yang dipuji jelas mesem-mesem jumawa,
setelah itu selalu nama Rima lagi yang disebut-sebut. Sedangkan yang lain hanya
mampu memandang iri dan menahan dongkol dalam hati, apalagi aku dengan rekor
diberhentikan tercepat.
“Kamu yang baca paling keras. Tidak malu apa kamu dengan teman kamu
Rima…..” Grrrr…. Nasehat atau justru olok-olokan itu dialamatkannya padaku.
Sungguh rasanya aku ingin pura-pura pingsan saja.
Hari ini hari paling buruk dalam sejarah hidupku. Setelah di kelas
habis dikuliti dosen killer, belum habis kejengkelanku. Aku kembali dikejutkan
dengan selembar kertas yang kutemukan di tong sampah. Sepertinya aku kenal
guratan pena ini. Ha…. Bukankah ini hasil karikaturku semalam?
Malam tadi usai belajar aku menghubungi kak Edi. Dia adalah kepala
departemen informasi di BEMJ (Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan), dan aku salah
seorang stafnya. Sudah berbulan-bulan isi mading tidak diganti, jadi meminta
izinya untuk mengisinya dengan materi baru. Kebetulan momentnya pas
dengan tahuk baru Hijriah, jadi aku membuat karikatur tentang tahun baru
hijriah. Semalam suntuk aku mengerjakannya, meski gambarku tak terlalu bagus
aku yakin orang-orang yang membaca pasti akan mengerti isi dari karikaturku.
Pagi tadi langsung kutempel sebelum masuk ke kelas. Tak tahunya, mahakaryaku
berakhir mengenaskan di tempat sampah, teronggok tak berbeda dengan kertas
pembungkus gorengan. Rasanya darahku mengalir cepat ke ubun-ubun, seperti
jutaan volt listrik tengah menyetrum, kemarahanku tak tertahan lagi. Ingin
rasanya kumaki siapapun yang pertama kali kutemui. Sekonyong-konyong datanglah
temanku, dengan tanpa merasa bersalah berceletuk “Gambar siapa sih itu? Gak
jelas gitu”. Kemarahanku yang tadinya memuncak sepertinya telah meletus
mengeluarkan lavanya. Namun tak satupun serapah yang keluar. Aku terlalu syok
dengan komentar temanku sendiri, yang kuharapkan dapat membesarkan hatiku
justru menjatuhkanku sedemikian mengerikan. Ada yang sakit di hati ini, rasanya
dadaku amat sesak. Ingin aku menangis, namun air mata itu tak kunjung keluar.
Aku hanya mampu terkulai lemah dengan memegang hasil mahakaryaku.
Usut punya usut hujan deras tadi siang menyiram basah mading yang
telah kuganti isinya. Akibatnya kertas yang ditempel menjadi lepek, dan
inisiatif tangan-tangan rajin nan cekatanlah membuang kertas-kertas yang
tertempel basah ke tempat sampah. Sudah tak layak baca mungkin pikir mereka.
Namun, hati kecilku terus meraung. Tak tahukah mereka sebegitu bekerja kerasnya
aku menyelesaikan karya itu. Ah… sudahlah aku hanya mampu menghibur diriku
sendiri. Terlalu malu mengakui hasil kerjaku yang terlanjur dianggap tidak
jelas sebelum aku sempat memproklamirkannya.
Hujan kembali mengguyur saat aku hendak mengayunkan kaki ke kosan.
Aku lupa, tadi pagi payungku dipinjam anak Ibu kos yang kebetulan payungnya
sedang rusak. Menerabas hujan sederas ini nampaknya bukan ide brilian.
Nampaknya aku akan tinggal lebih lama di kampus sembari menunggu hujan agak
reda. Oh.. nampaknya ada yang terlupa. Kubuka pesan masuk di hp-ku “Besok rapat
di sekret jam 3, jangan telat”. Kugilir melihat jam di layar “03.30” pm. Aku
sudah terlambat, aku tidak punya pilihan selain harus menerabas hujan menuju
sekretariat yang berjarak ±1 KM dari pintu gerbang. Malangnya lift sedang
diperbaiki, jadilah aku harus mendaki berpuluh anak tangga menuju lantai 5.
“Assalamu’alaikum”.
Kuucapkan salam dan kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tak terlihat
aktifitas rapat sedang berlangsung. Aku hampir kuyup ketika sampai di secret.
“Eh Fika, ngapain? Habis darimana kehujanan begitu?” kebetulan sekali aku
bertemu dengan Dian, teman sejawatku di departemen informasi. “Loh bukannya
hari ini ada rapat?” aku balik bertanya. “Rapatnya kan kemarin sore, kenapa
baru datang sekarang? Ketinggalan kereta ya Neng… hahaha…”. Tanpa merasa perlu
memprihatinkanku dia justru tertawa berderai-derai diikiti koor penghuni
sekret. Glek. Cukup sudah kemalanganku hari ini.
Sebelum pulang kusempatkan masih dengan baju basah kuyup membeli cake
kecil untuk teman sekamarku. Hari ini dia ulang tahun, uang jajanku tak cukup
untuk membelikan kado jadi kubelikan saja cake kecil yang dijual di toko
roti seberang kampus. Aku harap dia akan senang dengan hadiah kecilku. Ternyata
sisa uang jajanku hari ini sangat pas-pasan, aku bahkan tak bisa membeli jatah
nasi untuk makan malam hanya cukup membeli mie instant. Tak apalah
pikirku, aku sudah membayangkan wajah Dinda-teman sekamarku, dengan matanya
yang berbinar-binar akan sangat senang bahkan terharu dengan hadiah kecilku.
Aku masih sempat mengulum senyum membayangkannya.
Perkiraanku melesat 360°. Sesampainya di kosan, Dinda sudah
berbinar-binar riang sebelum keberikan hadiah kecilku untuknya. Lantas tanpa
dikomandoi, dia bercerita amat atraktif bahwa teman-teman sekelasnya memberinya
kejutan. Kue tart besar, baru saja mereka bertolak sepuluh menit yang
lalu. Dia bilang bahwa teman-temannya adalah yang terbaik sedunia. Aku
meresponnya dengan wajah gembira yang amat dibuat-buat. Kusembunyikan kue yang
telah kubelikan di dalam tas. Dengan teman-teman yang baginya seistimewa itu
apalah artinya aku dengan cake kecilku? Lupakah ia, kemarin-kemarin saat
kiriman orangtuanya belum sampai akulah yang ditumpanginya makan? Saat uangnya
hilang sementara dia harus membayar traktir teman-temannya aku pulalah yang
meminjaminya uang, meski seminggu ke depan keuanganku juga akan seret. Aku tak
pernah mengungkit-ungkitnya. Ah… mengapa bisa kukatakan tak mengungkitnya
sedang aku selalu mengingat kebaikanku dan melupakan kesalahanku?
Kunyalakan kran air sekeras mungkin saat hendak mandi. Aku ingin
menangis, rasanya hari ini amat berat. Aku amat kecewa, aku dikecewakan, aku
dikerdilkan, aku tak ubahnya hasil karikaturku yang dibuang di tempat sampah.
Apa salahku Ya Allah? Aku terus bertanya dalam hati, mereka-reka dosa yang
telah kuperbuat.
Sekelebat namun amat jelas Allah pertontonkan dosaku. Niatku yang
melenceng. Aku terlalu sombong, merasa mampu, merasa berjasa, padahal apalah
aku ini di hadapan-Nya? Saat belajar sungguh-sungguh aku hanya ingin
mengesankan hati pak dosen. Berharap dia akan melihat dan memuji hasil
belajarku, aku lupa bahwa yang Maha Melihat adalah Allah, aku lupa bahwa
belajar jua adalah kewajiban darinya. Bukan semata-mata tuntutan dosen atau
kampus.
Ketika aku membuat mading, yang kuharapkan adalah agar dilihat oleh
orang-orang lantas mereka akan berdecak kagum pada hasil karyaku. Aku lupa lagi
bahwa yang pertama kali melihat adalah Allah. Allah pula yang menggerakkan
tanganku sehingga aku bisa menggoreskan pena di atas sehelai kertas. Aku lupa
bahwa Allahlah yang kuasa meliputi ujung rambut hingga telapak kaki, tanpa
izin-Nya bisa saja tanganku kelu untuk sekedar kugerakkan ke kanan dank ke
kiri.
Saat aku datang untuk ikut rapat, aku hanya ingin menunjukkan bahwa
aku adalah orang hebat, aku punya organisasi yang kujalani, aku ingin pengakuan
khalayak bahwa aku seorang sibuker dengan agenda rapat bertubi-tubi. Aku ingin
menunjukkan dimata teman-temanku yang tidak tergabung dalam organisasi bahwa
aku lebih hebat dari mereka. Lagi-lagi aku lupa Yang Maha Hebat Maha Perkasa
hanyalah Allah semata, maka saat Allah melihat kesombongan dalam diriku
diterbangkannya kesombongku tanpa sisa.
Tak ada yang mampu kutunjukkan. Aku mungkin salah menilai
orang-orang hebat adalah mereka yang terkenal, nyatanya pahlawan sejati adalah
dia yang kebaikannya dirasakan, kebermanfaatannya dicicipi oleh lingkungan
sekitar. Mereka adalah pahlawan di jalan kesunyian yang tek pernah tersorot
lensa atau tersebut nama karena khawatir nilai keikhlasan kontribusi mereka
hangus terkikis pujian. Allah tengah mengajarkanku makna kepahlawanan dan
kehebatan baru, bahwa seorang pahlawan yang tentunya seorang hebat adalah dia
yang berkontribusi tinggi-bermanfaat bagi sekitar dengan harapan hanya
Allah-lah yang tahu. Biar Allah saja yang melihat amal-amal mereka. Ah… betapa
ingin aku menjadi orang seperti itu, tak pernah tersebut manusia namun namanya
mewangi oleh amal kebajikan.
Pun saat mengingat-ingat kebaikanku pada Dinda aku belum ikhlas.
Masih saja aku mengungkit-ungkit kebaikanku padanya. Celakanya aku selalu lupa
sikap jelekku padanya. Aku tak pernah tahu, mungkin dalam hati terdalamnya dia
selalu memaafkan kesalahanku sebelum aku sempat minta maaf padanya. Ya Allah
ampuni hamba yang terlampau buta dimabuk pujian mata-mata nista manusia. Ajari
aku untuk ikhlas karena-Mu, bahwa Engkaulah yang akan pertama kali melihat
amal-amalku.
Usai mandi kulihat Dinda baru selesai shalat. Samar dan lamat
kudengar namaku disebutnya dalam doanya yang menghiba. Tanpa kusadar air mataku
meleleh haru, Ya Allah untuk sahabat sebaik ini yang tak alpa mengabsenku dalam
do’anya masihkah aku pantas tidak bersyukur atau menganggapnya kurang baik?
“Tok..tok..tok” Sebuah ketukan terdengar di pintu kamar kami.
Rania, anak ibu kos yang bertandang. “Terimakasih ya kak pinjaman payungnya
tadi pagi, sebagai ucapan terimakasih ini dari mama” katanya sembari
menyodorkan dua kotak nasi. Alhamdulillah, ada saja rezeki di tengah krisis
kantong macam ini. Padahal tadi pagi aku tak berharap apapun saat meminjamkannya
payung, kebetulan sekolahnya agak jauh sedang kampusku hanya sepelemparan batu
dari kosan. Jadi, tak ada ruginya bagiku sekedar meminjamkannya payung yang
belum tentu kupakai. Bahkan Allah membalas amal kecil ini dengan balasan amat
baik. Aku bertambah mengerti antara amal yang diniatkan karena-Nya dan bukan
karena-Nya. Kuncinya saat berharap amal kita dilihat oleh mata manusia yang
terkadang hanya melihat secara kasat mata, maka bersiaplah untuk kecewa. Adapun
ketika kita berharap hanya Allah-lah yang melihat amal kita, niscaya kita tidak
akan kecewa meski orang-orang justru mengecilkan, meremehkan, atau menghina
hasil kerja kita. Tak pernah ada yang sia-sia dimata-Nya, karena Allah tidak
akan mengecewakan kita, Allah pulalah yang akan menilai seadil-adilnya jerih
payah kita. Yang besar di hadapan manusia belum tentu besar di hadapan Allah
dan sebaliknya.
Dan
Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa yang telah kamu kerjakan.(Q.S. At-Taubah:105)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar