Klasik memang cerita tentang seorang anak yang ingin bersekolah di
sekolah unggulan Negeri namun terdampar di MAK (Madrasah Aliyah Khusus) atau
serupa pesantren. Itulah yang terjadi pada Simuh, bujang tanggung di Bagan
Siapi-api yang tersasar ke kaki gunung Singgalang dan Pinggang Merapi. Cuaca
yang menusuk kulit di malam hari menjadi teman yang tak dapat ditolak
kehadirannya. Namun, apa yang ia temukan disana ternyata bukan sekumpulan anak
buangan, melainkan kumpulan bibit-bibit unggul yang disatukan dalam satu
asrama, MAK. Petualanganpun dimulai. Bersaing dengan 40 anak dalam 10 kamar
tidur dan 4 kamar mandi menjadi cerita yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Bayangkan saja, belajar disana bagaikan berjalan di antara dua sisi jalan
yang berkontur 45%, jika lengah dalam belajar maka peringkat pertama yang
didapat di kampung dapat meluncur drastis ke peringkat 30-40. Kendati berbentuk asrama namun sistem
pengawasan dan penjagaan tak seketat yang diterapkan pesantren. Walaupun aroma
persaingan amat kuat tercium, namun bujang-bujang tanggung ini tak lepas juga
dari godaan-godaan masa labil. Bermula dari keluarnya sang pengurus asrama yang
hanya seorang saja, yang kemudian posisi itu kosong hingga satu setengah tahun
ke depan menjadikan mereka bagai anak-anak broken home versi asrama. Kenakalan-kenakalan kecil seperti
menonton tv, saling mengirim salam dan angek-angek dengan siswi MA,
hingga kenakalan yang lebih fatal menjadi pelajaran serta cerita yang tak
terbayarkan.
Inilah romansa tentang sekumpulan anak-anak yang tinggal di asrama.
Pelajaran tak termaktub menjadi polesan lain warna kehidupan. Pelajaran tentang
berbagi, kebersamaan, kemandirian, tanggung jawab pemuda, keegoisan, kerja
keras, dan persaingan tentunya menjadi pelajaran yang hanya dapat dikecap dalam
interaksi social bersama kawan-kawan seperjuangan. Seringkali muncul pandangan
absurd dalam diri mereka sendiri ketika mereka dilabeli sebagai anak-anak
langit, yang digaung-gaungkan menjadi ulama dan pemimpin masa depan namun
kerapkali mengedepankan ego. Nilai yang nisbi, memotivasi sekaligus menjadi
beban amat berat. Mungkin inilah proses
dalam menjadi dewasa dan pemimpin.
Terdapat tiga macam pembelajar disana, pembelajar pertama adalah mereka
yang istiqomah belajar tanpa terbawa arus yang sedang terjadi, tipe kedua
adalah mereka yang mudah digonjang-ganjing dalam arus kebaikan atau keburukan,
tipe terakhir adalah kumpulan akan-anak yang memang cenderung mencari-cari
celah untuk berbuat nakal. Selain tipe pembelajar, ada pula tipe orang-orang yang
hebat dalam berbagai bidang, antara lain: pemimpin sekaligus provokator handal,
orator berpengaruh, olahragawan yang
menawan, inspirator berpembawaan tenang, pendebat-pendebat ulung, ketua DKM
yang hobi tidur-belajar di belakang mimbar. Bermacam-macam pula cara belajar
yang dipraktekkan oleh siswa-siswa disana, mind map, sketsa pelajaran,
bersembunyi di belakang mimbar, pura-pura tidur namun diam-diam belajar, di
dalam kelas dengan penerangan sebatang lilin, kalkulasi dengan angka, dan
banyak lagi cara belajar unik lainnya.
Dua hal yang menjadi ruh dalam kehidupan merantau disana adalah “Syubbanul
yaum rijalul ghod” dan jadilah pembelajar macam ikan. Meski air laut berasa
asin namun ikan tidak latah menjadi asin. Meski apapun arus yang tengah
menerjang jangan sampai terbawa arus yang buruk.
Selanjutnya, silahkan baca buku ini. Lukisan tentang dinginnya hawa
Singgalang, Ibu guru hebat yang lagi-lagi aku lupa namanya, kepala sekolah yang
paradoks, perploncoan yang mendebarkan penuh kesan, dan edelweis di puncak gunung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar