Rabu, 10 Oktober 2012

Anak-Anak Langit


Klasik memang cerita tentang seorang anak yang ingin bersekolah di sekolah unggulan Negeri namun terdampar di MAK (Madrasah Aliyah Khusus) atau serupa pesantren. Itulah yang terjadi pada Simuh, bujang tanggung di Bagan Siapi-api yang tersasar ke kaki gunung Singgalang dan Pinggang Merapi. Cuaca yang menusuk kulit di malam hari menjadi teman yang tak dapat ditolak kehadirannya. Namun, apa yang ia temukan disana ternyata bukan sekumpulan anak buangan, melainkan kumpulan bibit-bibit unggul yang disatukan dalam satu asrama, MAK. Petualanganpun dimulai. Bersaing dengan 40 anak dalam 10 kamar tidur dan 4 kamar mandi menjadi cerita yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Bayangkan saja, belajar disana bagaikan berjalan di antara dua sisi jalan yang berkontur 45%, jika lengah dalam belajar maka peringkat pertama yang didapat di kampung dapat meluncur drastis ke peringkat 30-40.  Kendati berbentuk asrama namun sistem pengawasan dan penjagaan tak seketat yang diterapkan pesantren. Walaupun aroma persaingan amat kuat tercium, namun bujang-bujang tanggung ini tak lepas juga dari godaan-godaan masa labil. Bermula dari keluarnya sang pengurus asrama yang hanya seorang saja, yang kemudian posisi itu kosong hingga satu setengah tahun ke depan menjadikan mereka bagai anak-anak broken home versi  asrama. Kenakalan-kenakalan kecil seperti menonton tv, saling mengirim salam dan angek-angek dengan siswi MA, hingga kenakalan yang lebih fatal menjadi pelajaran serta cerita yang tak terbayarkan.
Inilah romansa tentang sekumpulan anak-anak yang tinggal di asrama. Pelajaran tak termaktub menjadi polesan lain warna kehidupan. Pelajaran tentang berbagi, kebersamaan, kemandirian, tanggung jawab pemuda, keegoisan, kerja keras, dan persaingan tentunya menjadi pelajaran yang hanya dapat dikecap dalam interaksi social bersama kawan-kawan seperjuangan. Seringkali muncul pandangan absurd dalam diri mereka sendiri ketika mereka dilabeli sebagai anak-anak langit, yang digaung-gaungkan menjadi ulama dan pemimpin masa depan namun kerapkali mengedepankan ego. Nilai yang nisbi, memotivasi sekaligus menjadi beban amat berat.  Mungkin inilah proses dalam menjadi dewasa dan pemimpin.
Terdapat tiga macam pembelajar disana, pembelajar pertama adalah mereka yang istiqomah belajar tanpa terbawa arus yang sedang terjadi, tipe kedua adalah mereka yang mudah digonjang-ganjing dalam arus kebaikan atau keburukan, tipe terakhir adalah kumpulan akan-anak yang memang cenderung mencari-cari celah untuk berbuat nakal. Selain tipe pembelajar, ada pula tipe orang-orang yang hebat dalam berbagai bidang, antara lain: pemimpin sekaligus provokator handal,  orator berpengaruh, olahragawan yang menawan, inspirator berpembawaan tenang, pendebat-pendebat ulung, ketua DKM yang hobi tidur-belajar di belakang mimbar. Bermacam-macam pula cara belajar yang dipraktekkan oleh siswa-siswa disana, mind map, sketsa pelajaran, bersembunyi di belakang mimbar, pura-pura tidur namun diam-diam belajar, di dalam kelas dengan penerangan sebatang lilin, kalkulasi dengan angka, dan banyak lagi cara belajar unik lainnya.
Dua hal yang menjadi ruh dalam kehidupan merantau disana adalah “Syubbanul yaum rijalul ghod” dan jadilah pembelajar macam ikan. Meski air laut berasa asin namun ikan tidak latah menjadi asin. Meski apapun arus yang tengah menerjang jangan sampai terbawa arus yang buruk.
Selanjutnya, silahkan baca buku ini. Lukisan tentang dinginnya hawa Singgalang, Ibu guru hebat yang lagi-lagi aku lupa namanya, kepala sekolah yang paradoks, perploncoan yang mendebarkan penuh kesan, dan edelweis di puncak gunung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar