Senja masih menyisakan sinar oranye, tak terik namun cukup hangat. Aku dan seorang gadis bertudung merah tengah duduk di selasar masjid kampus. Menunggu kalian rutin yang sebentar lagi akan dimulai. Sementara di langit sepasukan tentara penguasa udara terbang riuh rendah bak tarian langit si atas mesjid.
"Aku nyerah aja deh jadi guru"
"Memangnya kenapa?" tanyaku pada room-mateku satu ini
"Aku gak ada bakat. Setiap kelas yang aku pegang gak pernah jelas".
Aku mengernyit tak mengerti dengan pernyatannya kali ini. Melihat alis mataku yang naik sebelah, diapun melanjutkan curhatannya tanpa peduli dengan ekspresi kepolosanku.
"Kamu tahukan volume suaraku segini-gininya, setiap aku masuk ke kelas anak-anak tuh langsung pada berisik. Boro-boro mereka segen sama aku takut aja gak pernah. Bayangin aja aku udah marah banget, muka udah kelipet tujuh, suara udah abis, mata udah mau keluar rasanya, tapi anak-anak teteuuuup aja kekeuh dengan suara mereka sendiri.....".
"Ha.. ha..ha.." aku tak kuasa menahan tawa melihat ekspresinya yang benar-benar serius
"Idiiiih....." dia balik menjawil sepasang pipi tembemku. "Orang lagi serius malah diketawain"
"Iya maaf" seraya menutup mulut dengan lengan kananku. "Tapi, memangnya kamu kalau lagi marah gimana?"
Dia melongo dengan pertanyaanku ini. "Hah... hello..." Nampaknya begitulah ekspresi mukanya. Aku memang benar-benar penasaran dengan cara dia marah di kelas bagaimana, bukannya kenapa-kenapa, masalahnya dia ini terkenal dengan oktaf suaranya yang rendah. Untuk mendengar dia presentasi saja teman-teman sekelas perlu kondisi saat hening. Kadang-kadang malah orang yang baru mengenalnya akan terbawa suasana saat bicara dengannya, jadi ikut-ikutan mengecilkan suara. Sebagian lain memang benar-benar terbawa suasana sebagian lain lagi malah menjadikan bahan ledekan. Kesannya jadi aneh aja kalau orang-orang mengimbangi oktaf suaranya, ada yang terdengar terserang asma tiba-tiba ada pula yang seperti anank kucing kejepit pintu. Kita memang tak pernah tahu tabiat asli seseorang, dan untuk mengenalnya luar dalam jangan tanyakan pada orang yang mengaguminya karna kita tak kan temukan jawaban paling jujur darinya, tapi tanyakanlah pada adik atau kakanya, dijamin jawaban mereka akurat 99% bahkan kadang suka dilebih-lebihkan. Mungkin aku memang perlu menanyakan cara marahnya ini pada adik semata wayangnya.
"Yah... makanya guru itu istimewa. Cobaannya kan disitu. Lagipula Ibuku pernah bilang satu hari nanti seiring bertambahnya waktu, bertambahnya jam terbangmu, suaramu akan membesar sendiri" hiburku.
"Bukan cuma itu, selain suaraku, aku juga banyak bingungnya. Mungkin tidak akan ada wali murid yang mempercayakan anaknya padaku" cerocosnya masih tetap dengan bibir manyun.
"Don't judge a book from the cover. Meski dengan tampang meragukan gini, Insya Allah aku akan tetap mempercayakan anakku padamu kok kalau kelak kamu jadi gurunya, tapi mudah-mudahan jangan deh". aku mengatakannya dengan pandangan amat serius.
"Iiiih....." satu cubitan lagi mendarat sempurna di pipi kananku.
"Aduh...." jeritku sambil menahan tawa. Aku jadi paham mungkin dia marah di kelas sambil menjawil pipi anak didiknya. :"
"Terakhir, aku hilang eh tertinggal eh ketinggalan eh terlupakan eh nyasar eh pokoknya terpisah dari rombongan gitu deh lagi ngedampingin anak-anak jalan-jalan ke Istana Boneka"
What??? apa diia bilang? ketinggalan rombongan? Astaghfirullah al adzim ini sih headline news "Seorang guru dinyatakan raib dari rombongan saat mendampingi anak-anak liburan sekolah di Istana Boneka" atau "Guru yang terpisah dari rombongan" apa dia bercanda. mana mungkin seorang GURU hilang dari rombongan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana guru-guru yang lain kalang kabut mencarinya. Masih "untungnya" bukan anak-anak yang hilang ^_^
"Ha.. ha.. ha..." Aku benar-benar lepas kendali untuk urusan satu ini. Namun tawaku tak sampai tuntas karena kali ini dia tak menjawil pipi tembamku. Masih dengan muka berlipat dan bibir manyun kali ini kulihat mata bundarnya benar-benar sedih
"Kok bisa sih?" akhirnya hanya itu yang bisa kurespon
"Mungkin karena aku gak penting. Gak bisa berkontribusi. Gak pernah ngapa-ngapain buat bantuin guru-guru lain, apalagi buat anak-anak. Ada atau gak ada aku sama aja".
"Astaghfirullah, jangan su'udzon kayak gitu dong" kali ini aku mulai melunakkan nada suaraku."Memang menurutmu guru-guru disana bukan orang yang baik?" kali ini aku yang bertanya padanya.
Dia diam dengan pertanyaanku kali ini.
"Kamu sendiri yang bilang guru-guru disana orang-orang paling ikhlas yang merelakan waktu luang mereka untuk mengajar anak-anak tanpa imbalan. Kamu juga sangat iri dengan kebaikan mereka itu kan? Malah ingin menjadi seperti mereka. Nah, mana mungkin sih orang-orang sebaik itu rela meninggalkan kamu sendiri disana? Bisa jadi mereka terlalu repot dengan anak-anak atau persiapan lainnya. Mereka juga pasti ngehubungin kamu kan?"
Dia kembali membisu sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Aku tersenyum melihatnya. "Itu berarti mereka gak ada niat ninggalin kamu dong?"
Aku melanjutkan sudut pandangku, "Katanya mau belajar banyak dari orang-orang luar biasa itu, masa baru nyasar di istana boneka aja udah nyerah sih? Jangan egois, gimana mau ikhlas kalau sebentar-sebentar ingin dipentingkan, ingin dibutuhkan, ingin dihargai lebih, padahal siapa sih kita? amal aja belum bisa nabung. Sedikit-sedikit mau disebut hebat padahal masih nyusahin orang tua, ingin dikenal berkontribusi padahal bantuin ibu di rumah aja masih emoh".
Dia memegang erat lenganku. Matanya tak lagi memancarkan kesedihan ada nyala baru disana berhiaskan senyum khasnya. "Jazakillah ya ukh, aku memang tak seharusnya egois apalagi su'udzon dengan orang-orang luar biasa itu. Seharusnya aku dapat belajar lebih banyak. Dari anak-anak, dari guru-gurunya. Tanpa mereka mungkin tak terpikirkan olehku untuk memiliki sifat ikhlas itu, tak akan juga aku punya cita untuk menjadi pribadi bermanfaat. Mungkin aku juga tak akan tertawa lepas, belajar memaafkan, atau berlaku jujur saat menyaksikan ulah menggemaskan anak-anakku. Astaghfirullah al adzim... ampuni aku ya Ghoffar karena telah dzolim terhadap saudaraku sendiri".
"Allahumma Aamin" aku mengamini doanya. "Tapi mungkin ada baiknya kamu jadi badut atau guide tour di istana boneka sebelum jadi guru, biar nanti gak nyasar lagi kalau ngajak anak-anak kesana" usulku kemudian.
"Ih...." kali ini tangan kanan-kirinya siap menjawil sepasang pipiku.
"Gak kapok kan jadi guru?" godaku
"Hmpt... mikir-mikir dulu deh, mending jadi guru apa tour guide ya? Hehe"
^_^
Kadang kita terlalu egois. Berfikir dari sudut pandang kita sendiri. Lantas mereka-reka alasan semau kita, pada akhirnya menyimpulkan dengan sudut pandang negatif. Merasa telah terdzolimi padahal justru malah mendzolimi. Ingin selalu dipentingkan dan dianggap berjasa, padahal masih banyak hak-hak Allah yang kita abaikan. Mulailah berprasangka baik karena Allah selalu dalam persangkaan hambanya. Betul-betul minta maaf telah berlaku dzalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 49:12).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar