Selalu ada
mutiara-mitiara hikmah jika kita mau memperhatikan. Selalu ada berlian-berlian
mahal jika kita mau mendengar. Selalu ada yang istimewa dari orang-orang biasa
yang ada di sekeliling kita. Mereka itu bukanlah dia yang bercuap-cuap dengan
janji-janji manis untuk perekonomian yang lebih baik. Bukan dia dengan
senyum-senyum palsu diatas penderitaan rakyat. Ah… sungguh jauh rasanya aku
berandai-andai. Tapi sobat, sekali-kali perhatikanlah teman dudukmu, kau akan
temukan padanya keistimawaan yang luput dari matamu. Tahukah sobat tentang
siapa aku bercerita saat ini? Tentang si lembut hati dan si pantang mundur.
Entah seperti
apa rasanya memiliki hati selembut sutera. Karna aku bukanlah manusia yang
mudah tersentuh hatinya. Bukan orang yang akan merasa sedih jika saudaranya
bersedih, aku hanya akan bersedih jika aku bersedih. Egois memang. Tapi aku
hanya tak tahu bagaimana bersedih untuk kesedihan orang lain, tak mengerti
bagaimana berbahagia untuk kebahagiaan orang lain. Kembali pada si lembut
hatinya. Dia menangis sobat. Kau tahu untuk apa? Untuk anak-anak didik yang
ditunggunya. Untuk anak-anak didiknya yang tak kunjung datang ketika senja
berhiaskan kelabu di ujung langit. Untuk
penantiannya yang sia-sia padahal dia sendiri tengah disibukkan dengan
kewajibannya. Tapi bukan untuk waktunya yang terbuang sia-sia dia menangis,
tapi kesedihan karena anak-anak didiknya tak akan tertawa-tawa bersama-sama
senja itu, karena kekhawatirannya pada semangat anak didiknya. Lalu aku? Aku
hanya termangu dan berfikir alangkah tidak menghargainya mereka pada waktu yang
diluangkan untuk mereka. Padahal saat itu aku tak disibukkan dengan sesuatu
apapun. Ada satu hal yang ku khawatirkan, jangan-jangan mereka tak datang hari
itu karena aku? Mungkinkah? Atau mungkin mereka merasakan kekerasan hatiku?
Mereka mengenaliku bahkan ketika aku memasang topeng ketulusan dihadapan
mereka.
Ya Muqollibuk Qulub Althof Qulubi bimahabbatik… amin.
Si lembut hati
yang lain,
Dia :
beasiswanya gak keluar?
Aku : keluar,
kata siapa?
Dia : Ya Allah
seneng banget, katanya kirain gak keluar
Aku pikir untuk
apa dia berbahagia untuk kebahagiaanku dan bersedih untuk ketidakberuntunganku?
Mungkin itulah yang dinamakan si lembut hatinya, merasakan apa yang saudaranya
rasakan. Sekali lagi rasanya, perasaan tak peduli itu menamparku. Kenapa ada
yang peduli padaku sedang aku tak merasa harus memerdulikannya?
Althif qulubi
binurika Ya Allah……
2011-11-01