Pagi di penghujung Mei
Mei, bulan kelima dari kalender masehi. Mei, menjadi momen
dari bulan pendidikan, kebangkitan. Mei, juga menjadi titik balik dari
reformasi negeri ini.
Awal mei, murid-murid dari tingkat Sekolah Dasar hingga
Sekolah Menengah Atas melaksanakan Ujian Nasional yang menjadi tolak ukur dari kemampuan
kognitif pembelajar. Kajian tentang penyelenggaraan UN yang kontradiktif amat
seringkali dibahas menjelang pelaksanaannya. Puncaknya, carut marut dengan tidak
serentaknya pelaksanaan UN di berbagai daerah Indonesia menjadi gugurnya kata “nasional”
dalam ujian ini. Apalah jadinya jika distribusi soal belum merata di hari H
pelaksanaan. Belum cukup dengan beban-beban materi ajar yang harus dikuasai siswa (yang juga
disamaratakan), tuntutan dari lingkungan sekolah dengan ambisi untuk menjadi
sekolah unggulan dengan mencetak lulusan-lususan terbaik dengan nilai diatas
rata-rata. Terkadang muncul juga tuntutan dari keluarga, untuk menjadikan anak
mereka sebagai siswa berprestasi yang ditunjukkan dengan angka-angka dalam
ijazah. Kalaulah unggul dan berprestasi itu hanya ditunjukkan dengan besarnya
angka-angka di atas kertas, apalah jadinya Einstein? Baik, mari kita perbaharui
definisi kita tentang cerdas. Cerdas menurut Pak Tua (dalam angpau merah)
adalah juga mampu menyimpulkan. Cerdas bukan pas sidang skripsi tapi saat
terjuan di masyarakat, begitu ungkap ust. Aceng Rahmat beberapa menit sebelum sidang
skripsi dilaksanakan. Menurutmu apa itu cerdas?
Pagi ini tak sengaja saya menjadi orang pertama yang
mendapatkan Koran terbaru di Sekolah, salah satu tajuknya di penghujung mei ini
membahas tentang Cendana. Lima belas tahun lalu di bulan ini, para aktivis dari
berbagai golongan berpegang tangan sambil mengelukan “reformasi”. Sebagian lain
menjadi tameng bagi Cendana. Itu lima belas tahun silam. Sekarang, tak jarang orang-orang
yang beradu kekuatan ini duduk bersanding di dalam satu partai. Tentu bukan hal
buruk dengan munculnya perdamaian antara dua kubu ini. Namun, akan menjadi
masalah jika niat untuk bergabung menjadi satu untuk adalah untuk bahu-membahu
dalam keserakahan. Memperebutkan kekuasaan yang fana, yang akibatnya justru jauh
dari cita-cita awal semula. Apalasi dengan munculnya beberapa tokoh reformasi
sebagai terdakwa KPK. Sayang beribu sayang hingga saat ini pun kasus korupsi
yang melibatkan mereka belum juga menemukan titik terang. Entah mungkin karena
jalanan yang terlalu gelap atau justru kesengajan dalam menutup pandangan dari
kebenaran. Terlepas dari beberapa oknum yang mencemarkan nama baik pejuang
reformasi, pastinya masih banyak yang memperjuangkan hak-hak rakyat.
Sedikit tentangmu mei, kita selalu diingatkan dengan
peristiwa-peristiwa penting ini, yang setiap tahun hanya bagai roda yang
berputar. Berulang-ulang tanpa ada penyelesaian. namun, berpikir positif, masalah klasik ini juga akan menemukan jawabannya. Kau selalu indah mei, pagimu selalu indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar