“Pung” hanya itu reaksi Minarni
menanggapi ide gila lanang-nya. Sekian lama menunggu nyatanya hanya
jawaban kepasrahan yang keluar. Tapi bukan Ipung namanya jika bukan ide liar
yang bersemayam di kepalanya. Segala pendapatnya memang terkesan gila namun
cerdik luar biasa. Maka tak heran kedatangannya selalu ditunggu-tunggu di saat
genting.
Dalam serial ketiga Ipung ini,
terbangnya Paulin ke Singapura berdampak sangat dominan pada sikap Ipung
kemudian hari. Figur seorang orator dan negosiator ulung dalam kepopularitasnya
redam redup berganti sikap apatisnya terhadap isu-isu Budi Luhur. Namun
nyatanya, dalam diam pun kita tak boleh lengah atau tutup mata terhadap
lingkungan sekitar. Terbukti dengan bangkitnya “Sang Pertapa” mengoperasikan
mesin-mesin demonstran di akhir cerita.
Di sisi lain di Kepatihan, buku
ini lebih banyak bertutur tentang perempuan-perempuan hebat. Adalah Minarni
sang Ibunda, janda dengan segala karisma juga ketenangannya yang berhasil
mendidik bocah ajaib ini. Dengan segala kesederhanaan tanah Kepatihan, hiduplah
Surtini. Gadis desa yang menjadi gadis desa atas pilihannya sendiri. Namun,
siapa sangka gadis amat pemalu ini menemukan keberanian juga mimpinya di saat
paling mendesak. Ipung-lah dengan ide gilanya yang memaksa Surtini menemukan
keberdayaannya. Terakhir, hadir juga Ayunda. Mungkin kecerdasan dan
kefrontalannya sedikit mirip Ipung.
Sempat kehilangan sosok Paulin,
yang di serial pertama dan kedua amat besar perannya. Sosok Ipung sebagai
makhluk kurus nan ganjil juga sempat tercecer. Inilah Ipung bujang, kampung
dengan segala keterbatasannya memilih untuk berdaya ketimbang pasrah pada
guratan nasib. Buku ini lebih banyak menyoroti tentang hati dan perasaan
lakonnya, tentang kemenangan hakiki juga roman-roman abg yang tidak menggalau.
Mbak, beli bukunya di mana ya? Aku dari dulu nyari-nyari buku ini. Mohon dibantu.
BalasHapus