Selasa, 06 Maret 2012

SI PENAKLUK KERETA

Empat puluh delapan menit jika lancar, satu jam lebih jika kereta terlalu banyak berhenti. Itulah kira-kira kisaran waktu yang diperlukan dari jarak Jakarta-bogor. Aku tinggal di bogor dan berkuliah di Jakarta, setiap sepekan sekali aku pulang, sisanya ku habiskan di kamar beralas kayu di lantai dunia sebelah kanan kampus. Hari ini sebetulnya bukan jadwal pulang, hanya saja kegiatan di kampus begitu membosankan.  Melangkah secepat mungkin dari kosan, menunggu satu jam lebih, ternyata si bapak dosen tak masuk. Maka kuputuskan untuk pulang, tak langsung pulang ke rumah tentunya. Walau aku harus bolos dalam beberapa mata kuliah beberapa jam kedepan.
Teng teng teng…. Kereta tujuan bogor akan segera berangkat
Ku percepat langkahku menuju kereta tujuan demi mendengar tanda-tanda lepas landas. Karcis kereta ku serahkan pada petugas penjaga pintu. Menunggunya dengan tidak sabar. Setengah berlari kuseberangi rel menuju gerbong enam. Sepuluh langkah lagi…. Sembilan….. delapan….. tujuh… enam…….. aku benar-benar berlari dalam lima langkah terakhir.
Tep. Kakiku sempurna melangkah dalam kereta ekonomi Jakarta-bogor. Dengan nafas masih ngos-ngosan kuedarkan pandanganku pada sekeliling, cukup legang, pukul 12.45 siang, waktu senggang. Aku mengusap peluh dengan tangan kananku sedang tangan satu lagi bersiaga memegangi tas yang kugendong dengan jari-jari tangan yang masih memegangi tiket kereta. Aku duduk disamping seorang ibu yang menggendong anaknya yang masih bayi dan seorang wanita paruh baya berhak tinggi dan berkacamata yang sibuk memebaca Koran. Tipe wanita pekerja pikirku. Tapi bukankah jam segini masih jam kantor? Kenapa dia bisa berkeliaran. Entahlah. Ku arahkan pandanganku pada adik bayi dalam gendongan si ibu tadi. Lucunya, tertidur bak malaikat suci. Tak peduli dengan huru-hara pedagang asongan ataupun peminta-minta yang menjadi pelengkap di kereta ekonomi. Tak peduli juga dengan abang-abangnya yang tetap menaiki atap kereta meski isi kereta cukup kosong.
Tiga puluh tiga menit sudah berlalu, tampaknya kereta tak akan sampai tepat waktu. Huh….. waktu ngaret memang sudah menjadi kebudayaan di negeri kita ini. Beberapa penumpang mulai banyak yang turun, sebagian kecil naik. Saat itulah mataku tertuju pada seorang gadis kecil berponi berkostum merah-putih dengan tas selempang. Satu tangannya memegangi kertas fotokopian. Malangkah dengan yakinnya ke dalam kereta. Ikut terguncang ketika kereta melewati areal yang tidak rata. Tadinya kupikir dia bersama ibunya, lama ku perhatikan, ibu di depannya malah turun. Kulemparkan seulas senyum padanya seraya sedikit bergeser ke kanan, menepuk-nepuk tempat duduk sebelah kiriku. Mempersilahkannya duduk disana. Beberapa tahun kedepan mungkin aku akan melihatnya sebagai salah satu perempuan pemberani yang dimiliki negeri jam karet ini.
“namanya siapa?” pertanyaan pertamaku
“nesa”
“hai nesa, mau kemana?” bersikap sok akrab
“pulang”
“dari mana?” tanyaku lagi
“dari sekolah” jawabnya
Namanya Nesa. Sekarang duduk di kelas 2 SD. Dulu tinggal di depok lalu enam bulan yang lalu pindah ke cilebut. Jarak depok-cilebut melewati sekitar 4 atau 5 stasiun, mungkin. Aku bukan penghitung yang baik. Tidak terlalu jauh memang, tetapi untuk anak seusianya sangat bahaya berkereta sendiri. Sekarang dia dan orangtuanya tinggal di cilebut tetapi masih sekolah di depok. Jauh sekali pikirku, saat kutanya alasannya, jawabannya hanya “gak punya uang buat pindah”. Aku terdiam cukup lama mendengar jawabannya. Terhanyut dalam pikirku sendiri. Alangkah irinya aku padanya, dia begitu bersemangat bersekolah, sedang aku malah semangat bolos kuliah. Tak terbayangkan olehku setiap hari berdesak-desakkan dengan para penumpang di kereta dilanjutkan dengan jalan kaki dari rumah ke stasiun sekitar 2 km. setiap hari begitu. Tapi tak terlihat tanda-tanda kelelahan atau ketidakterimaan atas nasibnya. Dia tetap melangkah dengan yakinnya, benar-benar percaya pada janji-janji kehidupan yang lebih baik dengan pendidikan. Setiap hari selalu bersemangat kala pagi menyapa, tak mengeluh karena jarak jauh dan uang jajan yang tak seberapa, yang terbayang di pelupuk mata hanyalah keriangan-kerianagn yang akan ditemukannya bersama teman-teman di sekolah, jendela-jendela baru yang akan dibukanya dalam pelajaran, dan buku-buku yang bercerita kepadanya. Teringat aku yang hari minggat  dari kuliah hanya karena alasan bosan, bahkan tak hanya hari ini. Kemarin-kemarin juga selalu begitu, dosennya gak asik, bolos. Tak hanya bolos kuliah aku juga kerap kali mangkir dari amanah yang kuemban tanpa alasan yang jelas, hanya karena si virus “M” sedang bereaksi saja.
Beberapa menit kemudian kami tengah asik membahas buku pelajarannya. Waktunya Tanya jawab. Soal pertama dijawabnya dengan tepat, lalu dia melanjutkan ke soal nomor dua tanpa mencontreng soal pertama tadi. “silang dulu yang nomor satu tadi” kataku
“ini bukunya punya ibu guru gak boleh dicorat-coret. Kalau fotocopy boleh” jawabnya polos
“O………..” hanya itu saja komentarku. Buku ini hanya pinjaman sekolah, tidak boleh dicoret-coret. Statusnya sebagai titipan saja, padahal apa sulitnya satu LKS untuk anak kurang mampu seperti Nesa. Anak yang bertanggung jawab.
“tahun depan bukunya diturunkan kepada adik kelas, jadi buku ini harus dijaga baik-baik” jelasnya sambil menutup bukunya dengan hati-hati dan memasukkannya dalam tas. Sebentar lagi stasiun cilebut.
Luar biasa, tak hanya mencintai ilmu, Nesa juga memiliki gudang pengertian yang besar. Tahun depan buku itu akan sampai pada adik kelasnya, dan dia ingin agar adik kelasnya tersebut merasa nyaman dengan buku yang sempat dipakainya.
Tubuh mungilnya hilang dalam pandanganku saat kereta kembali melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir -stasiun bogor-. Alhamdulillah Ya Allah Engkau ingatkan aku melalui gadis kecil berponi –Nesa- untuk selalu mensyukuri setiap nikmat yang Kau berikan. Dari SD sampai sekarang aku selalu berkecukupan, kesempatan menuntut ilmupun selalu terbuka lebar. Ayah dan ibu selalu memenuhinya dengan baik. Berputar lagi dalam rekaman memoriku, saat setiap semester selalu meminta uang jajan lebih untuk membeli buku, pada akhirnya buku-buku itu hanya menjadi pajangan di atas lemari. Sampulnya masih bagus, mengindikasikan tak pernah dibuka. Juga selalu meminta uang jajan yang lebih, untuk inilah, itulah, padahal untuk hal-hal yang tidak penting. Terimakasih Ya Allah telah memberiku kesempatan bercermin pada gadis kecil luar biasa yang kutemui di kereta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar